Hukum Mengadakan Test Saringan Penerimaan Murid Baru

Soal :
Bagaimana pendapat Asy Syaikh dengan orang yang mengadakan ujian untuk memilih para pelajar yang cerdas dan berkemampuan tanpa yang lainnya (menolak pelajar yang bodoh) dengan alasan bahwa agama ini adalah berat dan ilmu itu adalah mulia. Allah Ta'ala telah berfirman kepada nabiNya shalallahu 'alaihi wa aalihi wa sallam:
﴿إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلاً ثَقِيلاً [المزمل:5]
“Sesungguhnya Kami akan menimpakan kepadamu ucapan yang berat” (Al Muzammil:5)
Maka tidaklah mampu untuk memikulnya kecuali mereka yang cerdas? Padahal peminat ilmu dien ini sangatlah banyak! Berilah kami fatwa dalam hal ini! Jazaakumullah khairan.
Jawab :
Seyogyanya diberikan rasa optimis kepada mereka yang memiliki kemampuan prima kearah kebaikan. Lihatlah Yahya bin Sa'id Al Qoththon berkata kepada muridnya  Musaddad, “Kalau seandainya kami tidak terlalu sibuk sebelumnya, niscaya kami  yang mendatangi kalian.” (Tertera dalam biografi Musaddad di kitab At Tahdzib dengan lafadz, “Kalau aku datangi Musaddad di rumahnya dan aku sampaikan kepadanya hadits tentu dia berhak untuk mendapatkan penghormatan tersebut.”)
Dan sebelumnya Umar bin Khottob radhiallahu 'anhu menyertakan Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma di dalam kalangan pembesar-pembesar Badr. Mereka menggerutu, “Untuk apa anak sekecil ini disertakan bersama kita, padahal kita juga memiliki anak seusianya?” Maka Umar menyanggah mereka, “Dia itu sebagaimana yang kalian ketahui (maksudnya dari sisi ilmu).”
Kemudian beliau memberikan sebuah pertanyaan yang mereka keliru dalam memberikan jawaban sementara Ibnu Abbas menjawab dengan benar. Sebagaimana cerita tersebut diketahui dan tertera dalam kitab shohih, yaitu pertanyaan yang berkaitan dengan makna firman Allah Ta'ala:
﴿ إذا جاء نصر الله و الفتح ﴾  إلى آخر السورة
Maka sebagian mereka menjawab, “Kita diperintahkan untuk memperbanyak istighfar.” Dan yang lainnya menjawab selain itu. Adapun Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu  menjawab, “Ayat tersebut turun sebagai tanda dekatnya ajal Rasulullah shalallahu 'alaihi wa aalihi wa sallam.” Kemudian Umar menandaskan, “Aku tidak mengetahui kecuali seperti yang engkau ketahui.” (HR Bukhari dari Ibnu Abbas 4970).
Dan juga Rasulullah shalallahu 'alaihi wa aalihi wa sallam berkata kepada Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhu,«إنك غلام معلم»  “Sesungguhnya engkau pandai dan seorang pendidik.”(HR Ahmad (2/434) dan hadits ini tertera di Ash Shohih Al Musnad 92/24).
Dan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa aalihi wa sallam mendo'akan Ibnu Abbas, «اللهم فقه في الدين» “Ya Allah, jadikanlah dia seorang yang faqih di dalam agama.”(HR Bukhari 143 dan Muslim 2477).
Dan beliau mengajarinya perkara-perkara Aqidah sejak dini, “Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu dan jagalah Allah niscaya enkau dapatkanNya di hadapanmu…” al hadits. (HR At Tirmidzy tertera di Ash Shohih Al Musnad 1/474).
Benar, barangsiapa yang kelihatan memiliki motifasi tinggi dibantu dan didorong. Akan tetapi tidak dengan model seperti ini, tidak dengan model ujian dan test.
Adapun model seperti ini, memilih yang cerdas dengan alasan karena tidak akan mampu memikul agama ini kecuali ini dan itu, dan beranggapan bahwa yang tidak cerdas tidak akan bisa membawanya, ini tidaklah benar dan bahkan perlu dikritik. Bahkan berapa banyak orang yang cerdas, hatinya tidak bersih. Kalian sudah berlelah diri mendidiknya dan mengajarinya, ternyata tiba-tiba dia telah menjadi hizby, sementara yang lain (yang tidak memiliki kecerdasan tinggi) ternyata Allah memberinya taufik untuk menerima Sunnah dan menghadap kepada Allah dengan hatinya untuk mengamalkan kebaikan dan ilmu sehingga memberi manfa'at kepada sekelompok umat.
Allah berfirman:
﴿وَمَا تَوْفِيقِي إلاَّ بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ﴾ [هود:88]
“Dan tidaklah taufikku kecuali dengan sebab Allah. KepadaNyalah aku kembali dan bertawakal.” (Hud 88)
Benar, taufik itu semata-mata di sisi Allah.
Allah berfirman:
﴿إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ﴾ [القصص:56]
“Sesungguhnya engkau tidaklah mampu memberi hidayah kepada siapa yang engkau cintai. Akan tetapi Allahlah yang menunjuki siapa yang ia kehendaki.” (Al Qoshos:56)
Oleh karena itu, berbaik sangkalah kalian terhadap murid dan anak didik kalian semua. Dan siapa yang meiliki motifasi didorong dan diberi semangat karena barangkali dari salah satu mereka, Allah memberikan manfa'at dengannya. Dan tidak sepantasnya untuk mengadakan ujian dengan alasan ini dan itu. Lihatlah Al A'masy, tersebut dalam biografinya: Ada seorang ahlul hadits melewatinya sewaktu dia sedang mengajari anak-anak kecil, sembari berkomentar, “Bagaimana engkau duduk-duduk bersama anak-anak kecil dan menyibukkan diri mengurusi mereka? Padahal para ulama ahlul hadits sangat membutuhkan tenagamu?” Maka beliau langsung menukas, “Ya miskin, mereka (anak-anak) itulah yang bakal menjaga agama mereka kelak di kemudian hari.” (Dikeluarkan oleh Arromahurmuzi di kitab Al Muhadditsul Fashil (no.65) dengan sanad yang shohih, juga Al Khotib dalam kitab Syarof Ashhabul Hadits (no.125))
Maka Insya Allah, ikhwan kita tidak mengadakan seperti ini. Bahkan mereka memperhatikan sepenuh perhatian terhadap anak didiknya, baik yang besar atau yang kecil semuanya. Dan yang bakal menjadi anak baik akan melewati jalannya. Dan dia kelak yang akan menerima kebaikan dan memberi manfaat dan dialah yang memiliki motifasi tinggi.
Mahmud bin Robi' telah bisa memahami ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wa aalihi wa sallam menyiramkan air ke mukanya sewaktu umurnya baru lima tahun. Sebagaimana tertera dalam kitab shohih. Begitu pula Ibnu Umar seperti tertera dalam shohihain, ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wa aalihi wa sallam menanyakan tentang pohon yang menyerupai seorang mukmin. Maka terdetik dalam diri Ibnu Umar bahwa pohon tersebut adalah pohon kurma. Beliau berkata, “Tidaklah mencegahku untuk menjawab kecuali karena aku adalah peserta terkecil di majelis tersebut.” Maka kemudian beliau mengkhabarkan hal itu kepada bapaknya, maka bapaknya berkata, “Kalau engkau menjawab, maka itu lebih aku sukai dari ini dan itu.” (HR Bukhari)
Dan Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, beliau berkeliling dari rumah ke rumah gurunya dari kalangan shahabat ridhwanullahu 'alaihim ajma'in, untuk mendapatkan faedah ilmu. Bahkan kadang-kadang beliau menunggu keluarnya guru di depan pintu sembari meletakkan tangannya di wajahnya sampai keluar. Kemudian beliau mengambil darinya beberapa maklumat dan beberapa hadits. Shahabat tersebut berkata, “Wahai sepupu Rasulullah! Jikalau engkau mengutus orang untuk memanggil kami, tentu kami penuhi.” Maka Ibnu Abbas berkata, “Ilmu itu di datangi.” (Hadits tersebut diriwayatkan imam Al Bukhari secara muallaq di dalam kitab Al Ma'rifah wa At Tarikh (1/5) dan di kitab Thobaqot karya Ibnu Sa'd dan di kitab Al Hilyah milik Abu Nu'aim dan lain-lain).
Dari jalan Jarir bin Hazim dari Ya'la bin hakim dari Ikrimah dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma berkata, “Ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wa aalihi wa sallam telah meninggal dunia, aku katakan kepada salah seorang anak dari Anshor, “Mari kita bertanya kepada para shahabat Rasulullah shalallahu 'alaihi wa aalihi wa sallam, karena mereka hari ini masih banyak.” Maka dia menjawab, “Engkau sungguh aneh sekali wahai Ibnu Abbas! Apa kamu beranggapan bahwa mereka akan membutuhkan kamu sementara di kalangan manusia ada para shahabat Nabi Rasulullah shalallahu 'alaihi wa aalihi wa sallam sebagaimana yang kamu saksikan?” Maka dia enggan untuk melakukan perkara ini, sementara aku mencurahkan sepenuh perhatianku untuk bertanya, sehingga pada suatu kali telah sampai kepadaku bahwa salah seorang shahabat memiliki hadits. Maka aku mendatanginya sewaktu dia sedang istirahat di siang hari.  Maka aku pun menunggunya di bawah pintu sembari menjadikan bajuku sebagai alas. Tiupan angin dan debu menerpa wajahku. Sampai ketika shahabat tersebut keluar dan melihatku, dia berkata, “Wahai keponakan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa aalihi wa sallam! Kenapa engkau tidak mengutusku untuk mendatangimu?” Aku berkata, “Aku lebih berhak untuk mendatangimu dan bertanya kepadamu.” Sementara temanku Al Anshor tadi masih terus dengan kebiasaannya, sampai suatu saat dia melewati majlisku dan telah berkumpul banyak orang di sekitarku. Maka dia berkata dengan rasa menyesal, “Anak muda ini lebih cerdas dari padaku.” (Sanad atsar ini shohih. Dikeluarkan oleh Ibnu Sa'ad (2/367-368), Fasawi (1/542) dan Hakim (3/538). Dan Al Haitsami menukilkannya di Al Majma' (9/277) dan beliau berkomentar, “Diriwayatkan oleh Ath Thobroni dan semua perowinya dari perowi shohih).
Dalam sebuah atsar pula, dari Ibnu Abas bahwa beliau mengikat kaki Ikrimah (budaknya) dengan tali untuk mengajarinya Al Qur'an, Sunnah dan Faroidh (Atsar shohih dikeluarkan oleh Al Khotib di Al Faqih Al Mutafaqih (1/47))
Dengan demikian bila melihat ada anak yang bandel dan tidak perhatian dengan ilmu ataupun bemalas-malasan maka tidak mengapa menolong mereka dengan cara seperti ini (diikat). Dia tidak mengetahui kemaslahatan dirinya. Adapun apabila cuma mengambil anak kecil yang cerdas dan menolongnya sementara yang lain tidak ditolong, maka perkara ini bisa menyebabkan terpuruknya anak (yang tidak cerdas) tersebut, menyebabkan kecil hati dan rasa putus asa dari ilmu. Dan kalian menjadi berdosa dengan perbuatan itu.

Artikel Terkait


0 comments:

Post a Comment

◄ Newer Post Older Post ►

Al Manshurah

 

Copyright 2011 Al Manshurah is proudly powered by blogger.com | Design by Tutorial Blogspot Published by Template Blogger