Yayasan Sarana Dakwah Tanpa Berkah

بسم الله الرحمن الرحيم

Menyingkap Fikroh Hizbiyyah
Dibalik Slogan ” Yayasan Salafiyyah”

Bantahan terhadap risalah ” Mendulang Berkah dengan Membuat Yayasan Salafiyyah”
Asykari – Pimpinan Ponpes Ibnul Qoyyim Balikpapan, Yayasan as-Salaf Balikpapan
Oleh:
Abul Husain Muhammad Bin Muhyiddin Al-Jawy
Abu ‘Abdirrahman Shiddiq Bin Muhammad Al-Bugisi
di Darul Hadits Dammaj – Markaz Induk Dan Pusat Da’wah Ahlussunnah
-semoga Alloh menjaganya dari segala kejelekan dan makar-
KATA PENGANTAR
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

إنَّ الحَمْدَ لله، نَحْمَدُه، ونستعينُه، ونستغفرُهُ، ونعوذُ به مِن شُرُورِ أنفُسِنَا، وَمِنْ سيئاتِ أعْمَالِنا، مَنْ يَهْدِه الله فَلا مُضِلَّ لَهُ، ومن يُضْلِلْ، فَلا هَادِي لَهُ. وأَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
﴿ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ ﴾ [آل عمران: 102] .
﴿ يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا ﴾ [النساء: 1] .
﴿ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا ﴾ [الأحزاب: 70، 71].
أما بعد:
فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد ﷺ وشر الأمور محدثاتُها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار.
Mengkaji topik pembicaraan yang berkaitan dengan problematika dakwah itu bukanlah suatu hal yang mudah dan ringan, karena Allah ـ telah menggariskan tuntunan dan metode dalam berdakwah kepada Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam berserta segenap umatnya, sebagaimana dalam perkataan-Nya:
﴿ قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى الله عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ الله وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ ﴾ [يوسف/108].
“Katakanlah (wahai Muhammad): Inilah jalan-Ku aku menyeru kepada Allah di atas bashirah, aku dan orang-orang yang mengikutiku, dan Maha Suci Allah bukanlah aku termasuk orang-orang yang menyekutukan-Nya.” [QS. Yusuf: 108].
Maka daripada itu, tidaklah seorang pun pantas berbicara tentang perihal dakwah melainkan didasari hujjah yang kuat dari Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih (para pendahulu yang shalih), sebab semua itu kelak akan dimintai pertanggung jawabanya, Allah ـ berkata:
﴿ وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً ﴾ [الإسراء/36].
“Janganlah kamu mengikuti perkara apa saja yang kamu tidak memiliki ilmunya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semua itu akan dimintai pertanggung jawabannya.” [QS Al-Isra: 36].
Terlebih lagi pada permasalahan-permasalahan dakwah yang bersifat kontemporer, hendaknya seseorang lebih berhati-hati dan senantisa berpegang teguh dengan pedoman dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam dalam berdakwah, karena Allah ـ berkata:
﴿ لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ ﴾ [الأحزاب/21].
“Sungguh pada diri Rasulullah terdapat suri teladan yang baik bagi kalian”, [QS. Al-Ahzab: 21].
Tentunya kalau kita mau memahami makna ayat ini, maka metode dakwah manakah yang akan membawa berkah selain dari pada metode dakwah yang telah dijalani oleh Rasulullah? Padahal Allah ـ telah berkata:
﴿ وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا ﴾ [النساء/115].
“Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas baginya petunjuk dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang yang beriman maka kami akan memalingkannya kemanapun dia berpaling (dalam kesesatan) kemudian kami akan mencampakkannya ke dalam neraka jahannam sebagai tempat kembali yang paling buruk.” [QS. An-Nisa': 115].
Di dalam ayat ini terdapat peringatan keras bagi orang-orang yang mengikuti jalan selain jalan salafush shalih baik dalam berdakwah atau yang lainnya dari perkara-perkara yang berkaitan dengan agama ini terlebih di masa kita ini ketika banyaknya bermunculan da’i-da’i bertitel salafy akan tetapi dakwah mereka jauh dari metode yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pernah ditempuh oleh para salafus shalih, sementara beliau telah berkata:
(( فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ )) رواه أبو داود ] 13/327[.
"Berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang terbimbing sesudahku, gigitlah dengan gigi geraham dan waspadalah kalian dari perkara-perkara baru dalam agama ini, karena setiap perkara baru itu adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah kesesatan." [HR. Abu Daud].
Adapun diantara perkara yang sekarang sedang semarak dijadikan bahan perbincangan dalam kancah dakwah Salafiyyah adalah munculnya lembaga-lembaga formal baru dalam dakwah yang lebih dikenal slogan Jam’iyyah atau Muassasah alias Yayasan dengan dalih menjaga sekaligus memelihara keberlangsungan dakwah Salafiyyah dari segala rintangan yang menghadangnya atau dalil lainnya yang mereka anggap bisa membenarkan metode yang mereka tempuh padahal ternyata lembaga-lembaga tersebut memendam ” bom waktu” yang akan merusak dan mengkacau-balaukan dakwah Salafiyyah sebagaimana banyak terjadi pada dakwah-dakwah yang menempuh jalan tersebut dalam keadaan mereka tidak sadar,(1) adakah diantara mereka yang mau mengambil pelajaran dari orang lain?
﴿ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ ﴾ [العنكبوت/43].
“Dan permisalan-permisalan itu kami buat untuk semua manusia dan tidaklah ada yang memahaminya melainkan orang-orang yang berilmu”. [QS. Al-'Ankabut: 43].
Menelaah kembali risalah kecil yang ditulis oleh Askari bin Jamal Al-Bughisy dengan tema “Mendulang Berkah dengan Membuat Yayasan Salafiyyah” saya melihat ketimpangan yang nampak nyata pada uraian yang penulis kemukakan dalam risalah tersebut. Dan nampaknya penulis tergesa-gesa dan kurang berhati-hati ketika hendak mencurahkan hasil pemikirannya di atas secarik kertas yang akan menjadi cermin bagi para pembaca akan kedangkalan pola pikirnya. Tidakkah pernah penulis mendengar perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
(( التَّأَنِّي مِنَ الله، وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ ))رواه أبو يعلى [ 4/187].
“Sifat (ta’anni) (berhati-hati dalam menilai suatu perkara) itu dari Allah dan ketergesa-gesaan itu datangnya dari syaithan”. [HR. Abu Ya'la, dishahihkan Al-Albany dalam Ash-Shahihah].
Sudah menjadi perkara yang diketahui bersama bahwa sifat ketergesa-gesaan itu hanya akan mengantarkan kepada ketergelinciran, sebagaimana dikatakan oleh Umar bin Syuyaim dalam sebuah sya’irnya:
دْ يُدْرِكُ الْمُتَأَنِّي بَعْضَ حَاجَتِهِ وَقَدْ يَكُوْنُ مَعَ الْمُسْتَعْجِلِ الزَّلَل
Seringkali orang yang berhati-hati dalam melangkah dia akan mendapati sebagian kebutuhannya terpenuhi.
Dan (sebagaimana pula) ketergelinciran itu akan banyak menyertai orang-orang yang tergesa-gesa.
Oleh sebab itulah Imam Syafi’i : berkata:
(( إذا أراد أن يتكلم فليفكر )).
“Apabila seseorang hendak berbicara maka pikirlah terlebih dahulu!!”
Demikian pula seseorang ketika hendak mengungkapkan buah pikirnya dalam suatu risalah maka layaknya dia berpikir terlebih dahulu pula, karena hal itu akan menjadi catatan bersejarah baginya bahkan bisa menjadi suatu mazhab yang ditempuh oleh generasi setelahnya, yang tentunya semua itu akan menjadi tanggung jawabnya di akhirat kelak, artinya jikalau hal itu merupakan kebajikan maka hal itu akan menjadi amal jariahnya dan mengangkat derajatnya dan apabila hal itu merupakan kebatilan atau kemungkaran maka siap-siaplah menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang menempuh jalannya, sebagaimana perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
(( وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْء ))رواه مسلم [6/342]
“Dan barangsiapa yang menghidupkan tuntunan yang jelek dalam Islam maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan setelahnya dan tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka”. [HR. Muslim].
Semoga nasehat dan teguran ini dapat diterima dengan lapang dada bagi orang-orang yang jujur dalam mencari kebenaran dan keadilan meskipun nampak keras dan berat diterima hati ini, demikian Allah ta’ala membimbing Rasul-Nya agar bersikap tegas dan keras terhadap orang-orang yang lancang melanggar batasan-batasan keharaman yang telah Allah tetapkan, sebagaimana pula para pendahulu kita salafus shalih bersikap tegas terhadap para pengikut hawa nafsu dan kebid’ahan yang berupaya menyusupkan fikrah-fikrah (pemikiran) sesat dalam tubuh kaum muslimin dengan syubhat-syubhat yang awal mulanya menyerupai kebenaran ternyata akhirnya mengantar kepada jurang kebinasaan di dunia dan akhirat. Mudah-mudahan Allah senantiasa menjaga kita dari segala bentuk kesesatan dan kebinasaan.
Semua itu dalam rangka menjaga kemurnian agama ini dari tangan-tangan kotor yang hendak menodai dakwah ini dengan fikrah hizbiyyah baik yang datang dalam bentuk Jam’iyyah dan Muassasah alias Yayasan atau pun yang selainnya.
Mengingat kembali kekeliruan yang terdapat dalam risalah yang telah lalu penyebutannya maka akan saya jelaskan satu persatu berikut ini, agar seseorang tidaklah melangkah kecuali di atas bukti, Allah ta’ala berkata:
﴿ لِيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْ بَيِّنَةٍ وَيَحْيَى مَنْ حَيَّ عَنْ بَيِّنَةٍ ﴾ [الأنفال/42].
“Agar orang yang binasa itu, binasa di atas bukti dan orang yang hidup hiduplah ia pula di atas bukti.” [QS. Al-Anfal: 42].
KAPANKAH SALAFUS SHALIH MENGENAL YAYASAN ?
Nampaknya dari tema yang ditulis dengan bahasa Arab
الجـمعـيّـات المؤسسات السلفية بركات لا حركة بلا بركة
Penulis (Askari) sudah membaca sekilas risalah kami yang berjudul:
الجـمعـيّـات حركة بلا بركة
“Yayasan-yayasan adalah gerakan tanpa berkah” akan tetapi sayang Allah ta’ala belum memberi taufiq kepadanya untuk menerima kebenaran dan kenyataan dengan lapang dada, bahkan berusaha mengelak dan mencari pembenaran terhadap kemungkaran yang tidak mungkin dipungkiri lagi, kecuali orang-orang yang berpenyakit hatinya dalam rangka menggapai kepentingan duniawi dengan tameng demi kemaslahatan dakwah salafiyyah ini, Allahul musta’an, sungguh benar perkataan Allah:
﴿ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ ﴾ [الحج/46].
“Maka sesungguhnya bukanlah mata penglihatan itu yang buta, tetapi yang buta adalah mata hati yang ada di dada.” [QS. Al-Hajj: 46].
Kemudian judul arab itu pula tidak sesuai dengan yang penulis terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan hal ini terjadi mungkin karena keminiman penulis dalam pengalihan bahasa sehingga sepantasnya bagi penulis untuk mencukupkan satu tema dengan satu bahasa, atau kemungkinan yang lain penulis ingin mengelabui pembaca, maka ini pun menyalahi amanah ilmiah yang seharusnya ditunaikan tanpa penambahan dan tanpa pengulangan. Dan yang menggelikan lagi ketika penulis menisbahkan keberadaan yayasan-yayasan itu kepada salafush shalih, sejak kapankah salafus shalih mengenal yayasan? Adakah di sana yayasan milik Abu baker As Shiddiq – rodhiallohu’anhu- dan semua sahabat,Yayasan para Tabi’in,Yayasan Imam Bukhari? Atau yayasan milik syaikhul Islam Ibnu Taimiyah? Atau yayasan milik Imam Ahmad? Atau selain mereka tokoh-tokoh Islam? Sejak kapankah catatan sejarah Islam mengenal lembaga seperti ini.
Ini adalah penipuan yang nyata dan pembodohan terhadap umat yang sangat kentara dan jelas, sebagaimana Iblis ketika merayu Nabi Adam – ‘alaihis salam- :
﴿ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَى ﴾ [طه/120].
“Maka maukah kamu aku tunjukkan pohon keabadian dan kekuasaan yang tidak pernah punah” [QS. Thaahaa: 120].
Kalau demikian keadaannnya maka berkah apakah yang dapat diharafkan dari himbauan yang mengandung penipuan terhadap ummat dan kedzoliman terhadap manhaj salaf seperti ini? Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
(( الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا – أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا – فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا )) رواه البخارى [ 7/475].
“Dua orang yang melakukan transaksi jual beli memiliki hak untuk memilih selama keduanya belum berpisah, jika keduanya jujur dan terbuka, maka akan diberkahi pula pada keduanya pada transaksi tersebut dan jika keduanya berdusta dan menutup-nutupi aib maka akan hilang berkah pada jual beli tersebut”. [HR. Bukhari dan Muslim].
Ini adalah berkaitan dengan perkara duniawi yaitu hubungan perdagangan maka bagaimanakah kalau penipuan dan kedustaan itu diterapkan pada dakwah? Tentu hal ini akan lebih jauh dari berkah yang didambakan.
Anggaplah pendirian-pendirian lembaga-lembaga dakwah yang dikenal yayasan ini membawa berkah dan kemaslahatan bagi dakwah, akankah hal ini luput dari pengetahuan salafus shalih sementara semua faktor-faktor yang menuntut akan keberadaan semua itu terdapat pada zaman itu atau yang semisalnya? Akan tetapi pula, kita tidak mengenal pada zaman mereka lembaga baru seperti yayasan ini?
Apakah mereka para pencetus berdirinya yayasan-yayasan dalam dakwah itu mengira bahwa hal ini lebih membawa maslahah? maka itupun keliru besar, karena Imam Malik mengatakan:
(( لن يصلح أخر هذه الأمة إلا بما صلح أولها )).
“Tidak akan baik keadan akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang membuat baik umat terdahulu”.
Kemanakah mereka yang mengaku-ngaku dengan slogan salafiyyah dari pada perkataan para pendahulu mereka salafus shalih yang selalu menghimbau umat agar berpegang teguh dengan jalan dan metode yang ditempuh oleh salafus shalih baik dalam perkara duniawi maupun agama?
Siapakah salaf kalian wahai para pendiri yayasan-yayasan salafiyyah?
Semua pertanyaan ini semoga dapat membuka mata hati para pembaca segenap salafiyyin di manapun berada, bahwa tidak semua slogan “salafiyyah” dapat diobral dengan mudahnya meskipun pada lembaga murahan semisal yayasan-yayasan itu.
MENGENAL HAKEKAT HIZBIYYAH
Hizbiyyah bukanlah kata yang asing bagi orang-orang yang selalu memantau perkembangan dakwah Islam dan khususnya dakwah salafiyyah di belahan dunia manapun, karena hanya dakwah salafiyyah sajalah yang memerangi dengan keras keberadaan fikroh yang terkandung di dalam kata “hizbiyyah” ini, sebagaimana Allah mencela keberadaannya pada umat terdahulu:
﴿ فَتَقَطَّعُوا أَمْرَهُمْ بَيْنَهُمْ زُبُرًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ ﴾ [المؤمنون/53].
“Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah bela, menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga terhadap apa yang ada di sisi mereka (masing-masing)”. [QS. Al-Mu'minun: 53].
مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا&﴿ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ  دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ﴾ [الروم/31، 32].
” Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah yaitu orang-orang yang memecah bela agama mereka, dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”. [QS. Ar-Rum: 32].
Adapun di masa kita sekarang ini fikroh ini menyebar dengan beraneka ragam bentuknya di tengah-tengah lalainya kebanyakan kaum muslimin, baik yang terang-terangan atau ataupun yang tersembunyi, sehingga dari sinilah pentingnya mengenal hakekat sebenarnya fikroh hizbiyyah ini sebagaiman perkataan Khudzaifah ibnul Yaman:
(( كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهص عَنِ الْخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ، مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِى )).
“Dahulu orang-orang bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan sementara aku bertanya kepadanya tentang kejelekan karena aku khawatir kejelekkan itu menimpaku”.
Sebagaimana pula berkata penyair:
عرفت الشر لا للشر لكن لتوقيه   ومن لم يعرف الشر من الخير يقع فيه
“Aku mengetahui kejelekkan bukan untuk berbuat kejelekan tersebut akan tetapi untuk menghindarinya. Dan barang siapa yang tidak mengetahui kejelekkan itu dari pada kebaikan maka dia akan terjatuh ke dalamnya”.
Hizbiyyah merupakan bentuk loyalitas yang sempit pada suatu perkara yang tidak ada dasarnya dari Al-Kitab dan As-Sunnah.
Karena dasar inilah muncul perpecahan ditengah-tengah umat Islam ini, ketika setiap individu atau suatu golongan menjadikan sebagian hasil pemikiran mereka sebagai pedoman dasar, baik dalam pergerakan dakwah atau yang semisalnya, tanpa merujuk kepada landasan Al-Kitab dan As-Sunnah yang disertai pemahaman salafus shalih, sungguh benar perkataan Allah ta’ala:
﴿وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ الله لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا﴾ [النساء/82].
“Dan kalaulah kiranya (Al-Qur’an) datang dari selain Allah , tentulah mereka dapati di dalamnya pertentangan yang banyak”. [QS. An-Nisa': 82].
Demikianlah kenyataan membuktikan bahwa tidaklah suatu perkara yang dibangun dalam rangka menyelisihi syari’at ataupun yang tidak ada dasarnya sama sekali dalam syari’at ini, melainkan pasti akan menyebabkan perselisihan dan perpecahan yang Allah larang sebagaimana perkataa Allah ta’ala:
﴿ وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا﴾ [آل عمران/103].
“Berpegang teguhlah kalian dengan tali (agama) Allah dan janganlah kalian berpecah belah”. [QS. Ali Imran: 103].
Oleh sebab itu, Allah membimbing umat ini, agar senantiasa mengembalikan segala macam bentuk perselisihan dalam agama ini kepada satu sumber yang akan menyatukan umat yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah, bukan pemikiran setiap orang, Allah ta’ala berkata:
﴿ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى الله وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴾ [النساء/59].
“Dan apapun yang kalian perselisihkan maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (As-Sunnah) jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan yang demikian itu lebih baik dan bagus akibatnya”. [QS. An-Nisa': 59].
Dan tidak lupa pula agar meniti jejak dan manhaj salafush shalih dalam menanggulangi perselisihan itu sebagaimana perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
(( فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ )) رواه أبو داود [ 13/327].
“Maka sungguh barang siapa diantara kalian yang hidup (sesudahku) maka dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang terbimbing sesudahku, gigitlah dengan gigi geraham (kalian) dan waspadalah kalian dari perkara-perkara baru dalam agama ini, karena setiap perkara baru itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” [HSR. Abu Daud].
Dapat difahami dari hadits ini bahwa berlepas diri dari manhaj dan sunnah Rasul dan khulafaur rasyidin dapat menjerumuskan seseorang kedalam jurang kebid’ahan dengan tanpa disadari, oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan sejak dulu kala dari upaya menyelisihi manhaj salafush shalih dan mengikuti jejak kebid’ahan dan para pelakunya.
Demikianlah Allah dan rosulNya membimbing ummat untuk meletakkan segala perkataan yang berkaitan dengan agama islam ini kepada pedoman dasar Al-qur’an dan Sunnah serta pemahaman salafus sholih bukan semata-mata karena perkataan si fulan ataupun si allan, terlebih lagi dalam perihal wala dan bara’ alias loyalitas dalam beragama yang merupakan prinsip utama dalam ajaran islam ini. Maka kewajiban seorang muslimpun agar menempatkannya di atas pedoman dasar terkemuka, karena peletakan loyalitas kepada suatu perkara baik yang berupa suatu madzhab atau pemikiran atau metode ataupun individu seseorang tanpa dasar Al-Kitab dan As-Sunnah serta pemahaman salafus sholeh, maka itulah hakekat “Hizbiyah” sebenarnya yang telah memecah belah ummat ini menjadi bercerai berai, setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka.
Menengok kembali perkembangan da’wah salafiah khususnya diakhir zaman ini yang semakin semarak dan mendapat respon baik dari kaum muslimin, maka bangkitlah sebagian para da’i dan ustadz demi kemaslahatan dan penyebar luasan da’wah untuk menempuh metode yang terbaru yang dikenal dengan jam’iyah atau mu’assah alias yayasan. Sementara dikalangan kebanyakan mereka sendiri (para da’i dan ustadz tersebut) tidak menyadari bahwa lembaga ini – pada dasarnya – hanya akan menjadi sarana penyebaran fikroh hizbiyah yang terpendam di dalamnya sebagaimana banyak terbukti di berbagai tempat dan negeri seperti Yaman, Su’udi, Kuwait, Sudan, Ethyopia, Jazair, Dubai, dan yang lainnya.
Dan semua hal itu terjadi dikarenakan perkara yang perlu diketahui bersama bahwa hakikat jam’iyah alias yayasan ini adalah peranakan dan buah hasil daripada keberadaan jama’ah-jama’ah (yaitu kelompok-kelompok) yang ada di tengah-tengah kaum muslimin sebagaimana kenyataan membuktikan bahwa dua jenis perhimpunan inilah yang telah banyak memecah belah kesatuan dalam da’wah salafiyah di berbagai macam tempat atas dasar loyalitas yang sempit dan terbatas pada anggota lembaga atau perhimpunan tersebut.
Barang siapa yang sejalan dengan agenda kerja mereka maka dia termasuk dari golongannya dan sebaliknya barang siapa yang tidak sejalan dengan mereka maka dia akan menerima comoohan dari mereka pula.
Hal ini bukanlah perkara yang dapat dipungkiri lagi, terlebih lagi mereka yang pernah terjun langsung di dalam gerakan lembaga yayasan ini, oleh sebab itu kami nasehatkan kepada segenap kaum muslimin umummnya dan salafiyyin khususnya tidak terpukau dengan slogan-slogan yayasan tersebut beserta segala bentuk kinerja lembaga tersebut yang tidak membawa berkah, bahkan sebaliknya hanya akan membawa musibah dan malapetaka dalam dakwah ini.
Maka bukanlah termasuk hikmah ketika penulis (Askari) menghimbau umat agar menempuh metode dakwah yang hanya akan menimbulkan perpecahan di dalam dakwah tersebut, bahkan hal ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap dakwah salafiyyah yang selama ini menyeru kepada kesatuan umat di atas dasar Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman salafush shalih, bukan atas dasar jam’iyyah fulan atau muassasah (Yayasan) allan.
MENCARI KEBENARAN DARI FATWA PARA ULAMA
Sudah merupakan ciri khas dakwah ahlussunnah dari setiap generasinya adalah menjadikan fatwa ulama mereka sebagai rujukan dalam perkara agama ini baik yang terdahulu ataupun yang terbaru, semua itu dalam rangka menunaikan kewajiban yang Allah perintahkan, sebagaimana perkataan-Nya:
﴿ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ﴾ [النحل : 43].
“Maka bertanyalah kalian kepada Ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui”. [QS. An-Nahl: 43, Al-Anbiya: 7].
Dan dalam rangka memelihara umat Islam dan menjaganya dari kesesatan yang timbul dari fatwa-fatwa yang tidak dibangun di atas ilmu sebagaimana perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
((إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يبق عالما اتخذ الناس رؤوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا))
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu ini dari hamba sekaligus, akan tetapi Dia mencabut ilmu itu dengan hilangnya para ulama, sehingga manusia (disaat itu) menjadikan pimpinan-pimpinan mereka dari kalangan orang-orang bodoh, yang apabila mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sendiri tersesat dan menyesatkan orang lain.” [HR. Bukhari].
Dan anggapan baik bahkan kita senantiasa menyertai ulama ahlussunnah di masa kita ini seperti Samahatusy Syaikh Bin Baz, Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin, Asy-Syaikh Al-’Allamah Al-Albani, Asy-Syaikh Al-’Allamah Robi’, Asy-Syaikh Al-’Allamah Muqbil dan Asy-Syaikh An-Nashihul Amin Yahya atau ulama yang semisal mereka yang memang layak menjadi rujukan utama kaum muslimin dalam segala macam urusan agama mereka.
Akan tetapi sangat disayangkan di tengah-tengah keramaian kaum muslimin yang merujuk kembali kepada fatwa-fatwa ulama tersebut didapati segolongan dari mereka yang bermaksud dengan merujuk pada fatwa-fatwa tersebut hanya untuk mencari pembenaran atau pembelaan terhadap kekeliruan dan kesalahan yang mereka lakukan agar orang awam dapat tertipu bukan dalam rangka mencari kebenaran yang sebenarnya.
Hal ini menunjukkan niat busuk yang terpendam dalam tubuh segolongan orang itu, karena kalaulah mereka mau jujur tentunya mereka akan mencari jalan terdekat kepada kebenaran yang berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafus Sholeh, bukannya mencari keringanan (rukhshoh) dari fatwa ulama’ yang sesuai dengan hawa nafsunya, sehingga jangan heran jika sebagian salaf mengatakan:
من تتبع رخص العلماء تزندق
” Barangsiapa yang mencari-cari keringanan (rukhshoh) dari fatwa-fatwa ulama’, maka dia akan ditimpa kezindikan (sifat kemunafikan).”
Demikianlah manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah sejak dahulu sampai masa kita ini mengenalkan kebenaran pada umat ini dari nara sumbernya, bukan sekedar fatwa fulan atau fatwa ‘allan agar semua perkara itu berada di atas bukti nyata dan jelas.
﴿فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ﴾ [يونس/32].
“Maka tidaklah ada sesudah kebenaran itu melainkan kebatilan.” [QS. Yunus:32].
Kita semua yakin bahwa fatwa-fatwa ulama’ itu merupakan hasil jerih payah dan ijtihad yang dibangun di atas keilmuan mereka sehingga suatu hal yang wajar jikalau Alloh memberi udzur bagi mereka yang keliru dalam berfatwa. Bahkan Alloh tetap memberi satu ganjaran baginya sebagaimana Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ »
“Apabila seorang hakim menghukumi (suatu perkara) dengan ijtihadnya kemudian benar, maka baginya dua ganjaran dan barangsiapa yang menghukumi dengan ijtihadnya pula kemudian keliru, maka baginya satu ganjaran.” [HR. Bukhori].
Adapun orang yang mengekor atau mengikuti fatwa ulama’ tanpa dasar ilmu (muqollid) seperti penulis Askari ini, maka dari mana dia mendapatkan udzur kalau seandainya fatwa yang dia pilih itu adalah keliru dan dari manakah pula dia akan mendapatkan pahala, terlebih lagi apabila disertai maksud jelek untuk menutupi kerusakan metode yang dia tempuh dan mengelabui, menipu umat ini dengan tameng merujuk kepada para ulama’.
Imam Asy-Syinqithi rohimahulloh berkata dalam tafsirnya Adhwa’ul Bayan (7/533): “
” اعلم أن المقلدين ، اغتروا بقضتين ظنوهما صادقتين ، وهما بعيدتان من الصدق …[إلى أن قال رحمه الله]… وأما القضية الثانية :
فهي ظن المقلدين أن لهم مثل ما للإمام من العذر في الخطأ .
وإيضاحه : أنهم يظنون أن الإمام لو أخطأ في بعض الأحكام وقلدوه في ذلك الخطأ يكون لهم من العذر في الخطأ والأجر مثل ما لذلك الإمام الذي قلدوه .
لأنهم متبعون له فيجري عليهم ما جرى عليه .
وهذا ظن كاذب باطل بلا شك . لأن الإمام الذي قلدوه بذلك جهده في تعلم كتاب الله وسنة رسوله وأقوال أصحابه وتفاويهم .
فقد شمر وما قصر فيما يلزم من تعلم الوحي والعمل به وطاعة الله على ضوء الوحي المنزل .
ومن كان هذا شأنه فهو جدير بالعذر في خطئه والأجر في اجتهاده .
“Ketahuilah sesungguhnya orang-orang yang bertaklid telah tertipu dengan dua perkara yang mereka sangka keduanya adalah benar,…
Kemudian setelah beliau menyebutkan perkara pertama, kemudian beliau berkata pula: “Adapun perkara yang kedua adalah sangkaan orang-orang yang bertaklid bahwa mereka juga yang akan mendapatkan seperti apa yang didapati seorang imam (tokoh yang mereka ikuti) berupa udzur dalam kekeliruan.
Lebih jelasnya, mereka menyangka bahwa seorang imam apabila keliru dalam sebagian hukum dan mereka mengikutinya dalam kekeliruan tersebut, mereka akan mendapatkan udzur dalam kekeliruan tersebut dan satu pahala (ganjaran) seperti apa yang diperoleh oleh imam yang mereka ikuti, karena mereka mengikutinya sehingga berlaku bagi mereka apa yang berlaku pula baginya (yaitu imam mereka).
Dan ini adalah prasangka dusta dan batil yang tidak diragukan lagi karena imam yang mereka ikuti telah mencurahkan upayanya untuk mempelajari Al-Kitab dan As-Sunnah serta perkataan-perkataan para shohabat dan fatwa-fatwa mereka.
Dan dia pula telah berupaya keras dan tidak mengurangi apa yang menjadi tuntutan untuk mempelajari wahyu dan mengamalkannya dan menunaikan ketaatan kepada Alloh sesuai dengan petunjuk wahyu yang turun, maka orang yang demikian keadaannya sangatlah pantas untuk mendapat udzur dalam kekeliruannya dan ganjaran pula atas ijtihadnya.” –selesai-
Sudah merupakan rahasia umum, bahwa kebanyakan jam’iyyah alias yayasan yang berslogan salafiyah dimanapun berada baik di negeri kita Indonesia atau selainnya, ketika terungkap kebobrokan dan kerusakan metode yang mereka tempuh. Tidak ada jalan lain bagi mereka melainkan bertameng dengan fatwa-fatwa ulama’ dalam rangka mengelabui ummat, sementara orang yang mau mencermati gerakan dan agenda kerja mereka (dia) akan mengetahui bahwa mereka sangat jauh dari petunjuk dan bimbingan para ulama’.
Maka daripada itu janganlah pembaca merasa tertipu dengan seruan mereka untuk merujuk kepada ulama’ karena sebenarnya mereka hanya ingin menyeru kepada kepentingan duniawi mereka. Di balik slogan-slogan yayasan salafiyah dengan dalih fatwa fulan atau ‘allan.
Dan kalaulah mereka jujur dalam seruannya merujuk kepada ulama’, maka ulama’ siapakan yang memiliki yayasan dengan agenda kegiatan dan kerja seperti yang mereka jalankan?
Karena kebanyakan mereka menutupi borok-borok mereka di hadapan khalayak, padahal kalaulah seandainya Ulama mengetahui hakekat kerja lembaga tersebut tentu mereka akan berlepas diri sebagaimana Syaikh Muqbil Rahimaulloh pernah ditanya:
ما هو موقف الشيخ ابن باز والشيخ الألباني رحمهما الله من جمعية إحياء التراث؟
الجواب: أما الشيخ الألباني فهو متبرئ منها منذ زمن، والشيخ ابن باز أنكر عليهم بعض الأشياء، والحزبيون ملبسون، فيأتون المشايخ الأفاضل بمن هو موثوق به عندهم من أهل السنة ويقولون: ياشيخ قد حقق الله الخير الكثير على أيدينا وقد ذهبنا إلى إفريقيا وهم في الحقيقة ذهبوا يفرقون كلمة المسلمين وذهبنا إلى إندونيسيا وإلى باكستان وإلى كذا وكذا، والشيخ حفظه الله يصدّق، وقد رد على عبدالرحمن عبدالخالق وأنا متأكد أن الشيخ إذا اتضح له أمرهم سيتبرأ منهم.
Bagaimanakah sikap Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Albani –semoga Alloh merahmati keduanya- terhadap Yayasan Ihyaut Turots? Adapun Syaikh Albani, maka beliau telah berlepas diri daripadanya sejak lama. Dan (demikian pula) Syaikh Bin Baz telah mengingkari beberapa perkara yang ada pada mereka. Dan hizbiyyun mereka adalah orang-orang yang suka mengelabui, mereka datangi para masyayikh yang mulia melalui perantara orang-orang yang dipercayai di sisi mereka dari kalangan Ahlus Sunnah seraya berkata: Wahai Syaikh, Allah sudah wujudkan kebaikan yang banyak melalui perantara kita, kita sudah pergi ke Afrika, -(padahal hakikatnya mereka pergi dalam rangka memecah belah kesatuan kaum muslimin)-kita sudah pergi ke Indonesia, Pakistan, dan yang lainnya, kemudian Syaikh membenarkan hal itu, padahal Abdurrohman Abdul Kholiq (pimpinan Jam’iyyah Ihyaut Turots) sudah dibantah, dan saya yakin bahwa Syaikh apabila sudah nampak jelas perihal mereka, niscaya beliaupun akan berlepas diri dari mereka. (Tuhfatul Mujib)
Sungguh benar ucapan beliau Syaikh Muqbil bahwa Hizbiyyin adalah para pembuai di hadapan para masyayikh demi memperoleh rekomendasi dan dukungan dari masyayikh untuk membenarkan segala agenda kerja Jamiyyah yang penuh dengan kemungkaran bahkan makar terhadap dakwah salafiyyah ini.
Terlebih khusus lembaga-lembaga Yayasan (Jamiyyah) yang dibentuk atas nama dakwah salafiyyah dengan berbagai macam namanya.
Demi Alloh, tidaklah lembaga yayasan dalam dakwah seperti ini pernah dikenal sebelumnya dari manhaj dakwah yang ditempuh oleh ulama’ ahlus sunnah yang terdahulu ataupun yang sekarang ini seperti Syaikh Al-Albani, Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Muqbil dan selain mereka melainkan dari kalangan hizbiyyun seperti Ikhwanul Muslimin, Sururiyyah dan semisal mereka yang kemudian diikuti jejak atau metode ini oleh sebagian orang yang baru mengenal dakwah salafiyyah dengan harapan akan mendatangkan kemashlahatan bagi dakwah ini, padahal ternyata ini menjadi virus dalam dakwah dan malapetaka yang menimpa salafiyyin di manapun mereka berada dan mencerai-beraikan kesatuan mereka. Semua itu demi kepentingan duniawi dan fikroh hizbiyyah yang terpendam di balik slogan yayasan tersebut. Allohul-Musta’an.
Apakah ada di kalangan pembaca yang dapat mengambil ibroh?
Belum lama telah kita saksikan bersama tumbangnya dakwah Ja’far Umar Tholib yang dahulu kala menjadi pemberantas segala trik-trik hizbiyyah, kemudian berbalik menjadi umpan dan pion hizbiyyin yang berselubung di balik tabir Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang sebelumnya hanya sekedar lembaga-lembaga yayasan kecil yang dibentuk dalam rangka mengayomi dakwah menurut pandangan mereka, ternyata di kemudian hari lembaga tersebut justru menjadi senjata makan tuan bagi dakwah salafiyyah. Akan tetapi sayang, kebanyakan orang tidak dapat mencermati hal itu kecuali apabila mereka telah terperosok ke dalam lubang yang sama atau lebih dalam untuk ke sekian kalinya, padahal Rosulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« لاَ يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ »
“Tidaklah seorang mukmin itu terperosok dalam satu lubang untuk kedua kalinya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dan hal itu pula disebabkan kemaksiatan yang menutupi hati-hati sebagian manusia untuk melihat kebenaran dan menerimanya dengan ketulusan jiwa. Alloh Subhanahu wa ta’ala berfirman:
﴿وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ﴾ [العنكبوت/43]
“Demikianlah permisalan-permisalan itu Kami buat bagi manusia dan tidak ada yang dapat memahaminya melainkan orang-orang yang berilmu.” (QS. Al-Ankabut: 43)
TIDAK SEMBARANG ORANG MENGGUNAKAN QIYAS
Pada bab ketiga dalam risalah itu yang bertema: “Tidak semua yang berasal dari orang kafir itu harus ditolak dan tasyabbuh bagi yang melakukannya.”
Nampaknya si penulis (Askari) ingin menampilkan kebodohannya di hadapan para pembaca dengan cara qiyas (mengambil hukum permasalahan berdasarkan persamaan dalam satu faktor) terlebih sesudah dia menyatakan dengan sendirinya: “Meskipun penulis belum mempelajari asal muasal yayasan ini.” Sehingga sepantasnya penulis menahan diri dan tidak tergesa-gesa menghukumi permasalahan tanpa landasan dasar ilmu yang memadai.
Jelasnya, pada uraian bab tersebut penulis memandang adanya kesamaan pada pembuatan lembaga yayasan itu dengan beberapa bentuk kemajuan teknologi di masa kita ini yang bermunculan seperti pesawat dan internet, subhanalloh, dari sisi manakah kesamaan pada perkara-perkara tersebut terjadi?
Kalau kita mempelajari sekilas komponen-komponen yang digunakan untuk pembuatan pesawat atau internet apakah ada komponent tersebut pada zaman Rosulullah dan para salafush sholeh sesudahnya sehingga memungkinkan bagi mereka untuk menggunakan fasilitas tersebut demi kepentingan hidup mereka? Seperti dalam rangka perjalanan jauh untuk berdakwah dan berperang atau penyebaran dakwah dan semisalnya?
Sementara itu pula, kita dapati komponen-komponen yang dibutuhkan dalam pembentukan sebuah lembaga yayasan baik yang berupa struktur keanggotaan dan adsminitrasi kerja lembaga tersebut adalah suatu hal yang mungkin yang diadakan jikalau mereka –para salafush sholeh- melihat hal itu akan mendatangkan mashlahat (kebaikan demi kepentingan) dakwah. Akan tetapi hal itu tidak akan dapati. Karena perkara ini adalah perkara baru yang diada-adakan tanpa alasan tuntunan syariat.
Memang keteraturan dan tatanan yang baik dalam langkah berdakwah adalah suatu perkara yang didambakan demi kemaslahatan dakwah tersebut selama tidak keluar dari petunjuk syariat sebagaimana dituturkan oleh Syaikh Muqbil rahimahullah:
التنظيم الذي لا يخالف الكتاب والسنة لا بد منه، أما الذي يخالف الكتاب والسنة موضوع تحت الأقدام، لأن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم يقول: ((كلّ شيء من أمر الجاهليّة تحت قدميّ))
“Penataan yang tidak menyelisihi Al-Kitab dan As-sunnah suatu perkara yang menjadi keharusan. Adapun (tatanan) yang menyelisihi Al-Kitab dan As-sunnah maka hal itu letaknya ada di bawah kaki, karena Rosulullah Shollahu alaihi wa sallam bersabda: “Setiap perkara yang termasuk daripada unsur Jahiliyyah berada di bawah kakiku (yaitu tidak berlaku alias batil).
Ketika didapati penyimpangan-penyimpangan yang ada pada tatanan lembaga yayasan ini dari garis ketentuan Al-Kitab dan As-Sunnah baik yang berupa pembentukan struktur keanggotaan yang tidak ada contohnya dari salafush sholeh, atau peletakan AD/ART yang tidak luput pula dari kedustaan yang direkayasa serta ketundukan terhadap beberapa hukum buatan atau undang-undang negara yang tidak sesuai syariat dan perkara lainnya yang semua itu kembali kepada sumber dan asal muasal (munculnya lembaga ini dari tatanan kehidupan orang-orang kafir dan trik-trik orang-orang Yahudi dalam penyebaran misi busuk mereka dalam rangka memecah belah ummat ini. Sebagaimana hal ini terangkum dalam buku-buku yang menjelaskan sepak terjang Yahudi dengan segala bentuk madzhab mereka yang penuh dengan misi keji terhadap kaum muslimin bahkan alam semesta.
Disebutkan dalam karya tulis sekumpulan Remaja Islam yang bertema “Mausu’ah Muyassarah fil Adyan wal Madzahib wal Ahzab Al-Mu’ashiroh” hal. (1048) bahwa jamiyyah adalah istilah politik dan sosialis yang biasa digunakan untuk sebuah himpunan atau perkumpulan beberapa individu orang yang dibentuk dalam rangka meraih kepentingan bersama atau mewujudkan hasil pemikiran bersama berdasarkan batasan tertentu lagi jelas. Dan sebagian undang-undang telah menetapkan jauhnya himpunan ini daripada upaya mencari keuntungan dan pokok dasar kerja sama dalam pengertian istilah Jamiyyah itu seperti undang-undang Perancis, Itali, Isbani, dan yang lainnya dari undang-undang negri latin dan demikian pula yang tertera pada undang-undang Jamiyyah yang ada di negri Libanon.
Semua keterangan ini membuktikan bahwa lembaga seperti ini tidak memiliki pedoman dari dalam syariat islam ini, karena hal itu dibangun semata-mata atas dasar perundang-undangan orang kafir yang tidak luput dari penyimpangan dalam syariat. Padahal Allah memerintahkan kita semua kaum muslimin untuk berhukum dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Bukankah pembaca pernah membaca firman Allah tentang orang-orang yang mengaku beriman kemudian berhukum kepada selain hukukm Allah dan RosulNya.
﴿أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آَمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا ﴾ [النساء : 60]
“Apakah kamu tidak memperhatikan oramg-oramg yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan kepada sebelum kamu? Mereka hendak berhukum dengan thoghut, padahal mereka telah diperintahkan mengingkari thogut itu dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa: 60)
Berkata Ibnu Katsir dalam menafsirkan makna thogut yang konteknya:

فإنها ذامة لمن عدل عن الكتاب والسنة، وتحاكموا إلى ما سواهما من الباطل، وهو المراد بالطاغوت هاهنا

Dan sesungguhnya ayat ini merupakan celaan bagi orang-orang yang berpaling dari (hukum) Al-Kitab dan As-Sunnah dan kemudian berhukum kepada selain keduanya dari kebatilan, dan itulah yang dimaksud thogut di sini.
Dan hal ini adalah suatu perkara yang tidak dapat dipungkiri, bahwa pembentukan dan pendirian lembaga yayasan itu tidak akan lepas dari keterikatan langsung ataupun tidak langsung dengan aturan undang-undang negeri setempat yang berdasarkan asas demokrasi yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
Kemudian penulis juga seharusnya dapat membedakan perkara kontemporer yang berkaitan dengan kepentingan duniawi seperti pesawat, telpon dan internet atau yang semisalnya di mana Rosulullah sudah memberikan kelonggaran dalam hal itu sebagaimana sabdanya:
أنتم أعلم بأمور دنياكم
“Kalian lebih mengetahui urusan duniawi kalian” dengan perkara kontemporer yang berbersangkutan dengan dakwah agama ini baik yang berupa prasarana dakwah atau yang lainnya, Karena Rosullulah telah menggariskan pedoman dasar yang wajib diketahui oleh setiap muslim sebagaimana dalam sabdanya:
(( من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ))
“Barangsiapa yang mengada-ngadakan perkara yang bukan merupakan tuntunan/petunjuk kami maka perkara itu tertolak. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Sehingga tidak semua perkara yang dianggap kontemporer itu dapat diterima mudah dan mentah-mentah, tanpa meninjau kembali dan mempelajarinya dari segi tuntunan syariat ini yang dibangun di atas pondasi Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman salafush sholeh serta pengamalan mereka. Dan inilah hakekat dalam memandang suatu kebenaran, bukan hanya sekedar bersandar dengan fatwa Fulan atau ‘Allan sementara di sana terdapat fatwa Ulama lain menyelisihinya, akan tetapi kejujuran dan ketulusan hati dalam mencari kebenaran yang bersumber dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang disertai pemahaman salafush sholeh, itulah yang akan mengantar seseorang kepada keselamatan dari ketergelinciran baik dalam perkataan ataupun perbuatan.
MENDIRIKAN YAYASAN BUKANLAH SOLUSI MEMECAHKAN PROBLEMATIKA DAKWAH
Kalau dikatakan bukanlah lembaga-lembaga Yayasan salafiyyah ini dibentuk hanya untuk mengatasi tekanan dari pemerintah agar tidak muncul anggapan bahwa dakwah ini akan membahayakan bagi negara atau menanggulangi segala problematika dalam dakwah terutama yang berkaitan dengan beberapa rintangan atau tantangan dari masyarakat yang tidak suka dengan keberadaan dalwah salafiyyah ini?
Maka jawabnya: Bahwa seorang da’i yang menyeru kepada agama Allah hendaknya memiliki bashiroh (wawasan ilmu) tentang perjalanan dakwah yang ditempuh oleh salafush sholeh sejak zaman Rosulullah dengan generasi-generasi tokoh-tokoh islam setelahnya yang telah mengorbarkan jiwa raga mereka di jalan dakwah salafiyyah ini sehingga sampai kepada kita dengan kemurniannya dan bersihnya dari segala praktek-praktek hizbiyyah yang banyak berselubung –khususnya di zaman kita- dibalik slogan-slogan seperti yayasan-yayasan salafiyyah atau yang semisalnya.
Lebih jelasnya, pembaca yang budiman perlu ketahui bahwa problematika dalam dakwah salafiyyah ini merupakan ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik itu yang berupa tekanan dari pihak pemerintah atau tantangan dari masyarakat semua itu telah Allah Ta’ala gariskan dalam firmannya:
﴿وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ﴾
“Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) dari jenis manusia dan dari jenis jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia. Jikalau Robbmu menghendaki niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” [Al-An'âm: 112]
﴿ وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا ﴾ [الفرقان : 31]
“Dan demikianlah, Kami jadikan bagi setiap Nabi, musuh dari orang-orang yang berbuat kejahatan, dan cukuplah Robbmu sebagai pemberi Petunjuk dan Penolong.” [Al Furqôn: 31]
Sementara pra sejarah dakwah salafiyyah ini yang telah berlangsung selama 14 kurun lamanya ini ditempuh oleh Rosulullah Shallahu alaihi wa sallam yang bersabda:
(( نعم السلف أنا لك )).
“Sebaik-baik salaf (pendahulu) bagimu adalah aku.” HR. Bukhori
Kemudian para pewarisnya dari kalangan para ulama sampai zaman kita sekarang ini dengan segala rintangan dan tantangan serta problem dakwah yang beraneka ragam semua mereka hadapi, bersamaan dengan semua itu tidak terdengar ataupun tertera dalam kitab-kitab siyar atau biografi mereka ada seorangpun dari mereka yang mendirikan Yayasan atau Jum’iyyah demi meraih kemashlahatan dakwah atau selainnya dari apa yang diiming-imingkan para da’i yang bertitel salafi di masa kita.
BERDAKWAH TANPA YAYASAN APAKAH BISA ?
Juga perlu diketahui, bahwa berdakwah tanpa yayasan adalah suatu hal yang sangat memungkinkan, salah seorang da’i yang telah berdakwah di bumi pertiwi selama lebih lima tahun, namun masih gandrung dengan Yayasan telah menjawab pertanyaan ini di buku hitamnya “Ke Mana Kalian Akan Pergi Dengan Fitnah Ini” dengan ucapannya di hal. 17-18 catatan kaki no. 6: “Kita tidak mengatakan bahwa dakwah tanpa yayasan tidak bisa berjalan. Bisa dan hal itu dilakukan oleh sebagian du’at, namun sulit untuk dikembangkan sampai pada tingkatan salafiyyun berkumpul di suatu tempat dan mendirikan lembaga pendidikan tersendiri lengkap dengan sarana-sarananya.”-selesai-
Kami katakan sebagai jawaban ucapan Sarbini mulai kalimat “namun”: Wahai Sarbini, siapa juga yang mengharuskan dan membebankan engkau dengan sesuatu yang salaf tidak membebankan diri dengannya? Lupakah engkau dengan ucapan Shohabat Abdulloh bin Mas’ud :
(( الاقتصاد في السنة خير من الاجتهاد في البدعة )).
“Bersederhana di atas sunnah lebih baik daripada bersungguh-ungguh di dalam kebid’ahan.” (I’tiqod Ahlus Sunnah/Allalika’i)
Beliau juga berkata sebagaimana pada sunan Ad-Darimi (211):
(( اتَّبعوا ولا تبتدعوا؛ فقد كُفيتم )).
“Ikutilah (salaf) dan janganlah kalian mengada-adakan bid’ah, karena sesengguhnya kalian telah tercukupkan.”
Mengapa engkau tidak menempuh dan mencukupkan diri dengan jalan yang ditempuh oleh para du’at itu, sebagaimana yang engkau katakan “telah dilakukan oleb beberapa du’at”?
Sejak kapan ada larangan para salafiyyin berkumpul pada suatu tempat terutama di mesjid –apalagi mesjid itu adalah mesjid Ahlus sunnah- untuk mengadakan proses belajar-mengajar jika tidak memiliki Yayasan?
Adapun kata-katanya bahwa dakwah sulit berkembang kalau tanpa yayasan itu menunjukan dangkalnya ketawakalannya kepada Alloh dalam sisi ini, dan ini merupakan kekeliruan fatal, karena dakwah semulia-mulia ibadah, dan ibadah haruslah dibangun dengan ketawakalan yang tinggi kepada Alloh, karena yang dia dakwahkan adalah agamaNya bukan agama Sarbini dan Askari, dengan perkataan tersebut menunjukkan betapa jeleknya prasangka mereka terhadap agama ini, yakni mereka menghawatirkan terpuruknya agama ini dengan sebab tidak didakwahkan lewat yayasan, padahal kita semua sepakat bahwa Alloh sendirilah yang akan menjaga agamaNya, akan tetapi dengan perkataan diatas seakan-akan mereka juga diberi kelelusaan untuk ikut andil memberikan solusi agar agama ini bisa terjaga dengan cara mereka yaitu dengan mendirikan yayasan sebagai payung dakwah. sungguh ini merupakan kedunguan.
YAYASAN ANTARA MASLAHAT DAN MENYELISIHI SYARIAT
Telah lewat maslahat yang mereka sangkakan dan damba-dambakan dengan mendirikan Yayasan pada risalah-risalah mereka, namun di samping itu dalam jadwal kerjanya mulai dari proses pembentukannya sampai setelah terbentuknya Yayasan itu, ternyata terdapat penyelisihan-penyelisihan syariat yang tidak ringan, padahal menolak mafsadat itu lebih diutamakan dari pada mendatangkan maslahat, silahkan pembaca merujuk ke kitab “Al-Jam’iyyat Harokah bila Barokah” atau ke terjemahnya “Yayasan Sarana Dakwah Tanpa Barokah” di antara penyelisihannya terhadap syari’at adalah:
o Menyelisihi da’wah para Nabi,
o Menyelisihi da’wah para Salafus Sholeh,
o At Tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir,
o Al ‘Imaroh (‘Amir) dalam keadaan mukim yang tidak syar’i,
o Merendahkan diri dengan melakukan praktek meminta-minta harta manusia dan mengemis kepada mereka.
o Tersibukkan dari aktivitas Tholabul Ilmi,
o At Takalluf (memberat-beratkan diri),
o Menabung dan menyimpan uang di Bank Ribawi,
o Foto tanpa adanya hal yang darurat,
o Tunduk dengan undang-undang Hukum buatan manusia atau Berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa Ta’ala
o Al Wala Wa Al Baro’ (Sikap Loyalitas dan Berlepas diri) yang sempit,
o Mengikuti dan mentaati aturan dan undang-undang yang dibuat dan disepakati oleh pihak Yayasan yang kebanyakannya menyelisihi Syari’at. Keorganisasian yang tidak memiliki contoh dari syari’at, dari pemilihan ketua, wakil, sekertaris, bendahara, dan seterusnya.
o Sering kami dapati Yayasan ini dijadikan sebagai sarana untuk meminta-minta karena lebih menarik hati para muhsinin dan kepercayaan mereka baik itu dari kalangan awam, pejabat atau selainnya , juga tidak pernah ada di zaman salafush sholeh bahkan di zaman Nabi Shallallohu alaihi wa sallam bersamaan dengan adanya faktor-faktor yang menuntut untuk mendirikannya dan lain sebagainya dari penyelisihan.
Bagaimana kiranya wahai para pembaca yang budiman jika dakwah yang murni ditopang dengan Yayasan yang dilumuri dengan kemaksiatan dan penyelisihan syariat, padahal dakwah tanpa Yayasan adalah suatu hal yang bisa dilakukan sebagaimana fakta dan realita yang ada dan sebagaimana pengakuan Sarbini –Ashlahahullôh-, dan telah diterapkan oleh sebagian du’at –hafidzohumulloh-
PERSAKSIAN
Sebagai bukti akan kebenaran ucapan kami, kita memaparkan beberapa saksi yang pernah terjun langsung atau menyaksikan sepak terjang Yayasan:
• Al-Akh Abu Abdis Salam Abdul Wahhab hafidzahullah Kalimantan, mantan pendiri Yayasan Ma’had ibnul Qoyyim Balik Papan bersaksi:
LATAR BELAKANG MEMBUAT YAYASAN DI DALAM DAKWAH SALAFIYYAH DI DAERAHKU:
1. Agar supaya mendapat pengakuan resmi (legalitas) dari pemerintah Indonesia dan kita berharap ketika suatu saat dakwah mengalami benturan atau bersinggungan dengan masyarakat atau suatu kelompok maka pemerintah akan melindungi markaz dakwah kita karena dibawah naungan yayasan yang resmi menurut hukum NKRI. Akan tetapi ketika ana masuk ke kantor PEMDA bagian KESBANGLINMAS (dahulu namannya sospol) kepala bagian itu mengatakan “Sebenarnya kalau kalian ingin dakwah/markaz kalian dikatakan resmi dan akan mendapatkan perlindungan dari pemerintah kalian cukup memberi laporan tentang keadaan markaz seperti nama dan alamat markaz, nama para pengajar, jumlah santri apa saja yang diajarkan dan lain-lain. Laporan ini kalian laporkan kepada kami setiap tiga bulan, untuk selanjutnya laporan ini akan kami sampaikan ke lembaga-lembaga terkait seperti koramil, polres dll. Sehingga ketika markaz mendapati suatu permasalahan dengan masyarakat maka kami akan menanganinya.”
Alhasil kalau kita ingin mendapatkan pengakuan resmi dan perlindungan dari pemerintah tidak perlu membuat Yayasan tetapi cukup membuat laporan berkala setiap tiga bulan kepada PEMDA setempat.
2. Latar belakang yang kedua agar mendapat pengakuan dari masyarakat bahwasanya dakwah kita adalah dakwah yang terang-terangan bukan sembunyi-sembunyi dengan begita kita berharap tidak ragu dengan dakwah kita dan mereka mau mendukung berupa dukungan moril (kepercayaan) dan dukungan dana. Maka ikhwah fillah sekalian dari atar belakang yang kedua inilah yang menjadikan sebab yang yang paling besar rusaknya dakwah yang suci ini dengan masuknya Yayasan di dalamnya. Mengapa demikian? Ketika kita memiliki yayasan kita merasa telah mendapat kepercayaan dan dukungan dari masyarakat dan yang selanjutnya kita akan terjatuh pada penyimpangan yang besar di antaranya:
1. Kita merasa dakwah ini tidak aman padahal yang menjaga dan melindungi dakwah ini adalah Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan di antara kita ada yang mengatakan Yayasan itu sebagai payung pelindung dakwah ahlus sunnah.
2. Dengan mudah dan ringannya kita mengharap harta kaum muslimin dengan mengemis (minta-minta) kepada masyarakat agar angan-angan atau hawa nafsu kita terpenuhi seperti ingin punya markaz yang besar, ingin punya lahan/tanah yang luas, ingin punya maktabah, ingin ini ingin itu dan semua keinginan dunia yang harus diperoleh dengan cara maksiat kepada Allah dan rasulNya.
3. Menuntut kita harus bermuamalah dengan banyak orang terutama orang yang punya pengaruh/jabatan atau orang kaya dan bahkan ahlul bid’ah sekalipun.
4. Mengakibatkan aktivitas kita sibuk di samping dakwah kita juga harus mengurus urusan dunia yang kelewatan dan tidak ada habis-habisnya yang akhirnya membebani kita sendiri.
PASAL SEPUTAR AKTE NOTARIS
1. Yayasan dikatakan legal/resmi apabila punya nomor akte notaris, untuk mendapatkan akte tersebut kita harus:
- Mengisi blanko (lembaran isian) pendirian yayasan yang isinya sebagian besar berkaitan dengan demokrasi dan asas hukum Negara Indonesia yakni Pancasila dan UUD 1945 dan juklak (petunjuk pelaksanaan) pendirian yayasan.
- Ketika antum masuk ke kantor notaris antum akan berhubungan dengan sekertaris notaris mungkin dengan perempuan yang telanjang dan bersolek atau dengan laki-laki yang mubantol, cukur jenggot, perokok dan sebagainya dan itu butuh dialog berkali-kali.
- Memenuhi dan mengikuti persyaratan yang disyaratkan oleh notaris (pemerintah) seperti harus mencantumkan asas dan tujuan yayasan, harus ada struktur kepengurusan dan badan pendiri, harus punya anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) yayasan, harus melapor setiap kali ada perubahan di dalam struktur organisasi yayasan harus membayar sejumlah uang untuk mendapatkan nomor akte notaris. Oleh karena itu tidak benar ketika seseorang mengatakan “Yayasan itu hanya sebagai formalitas saja adapun prakteknya kita tidak pakai semua itu”. Kenyataannya tidak demikian bahkan kami sempat berusaha untuk mengurus formalitas yayasan sampai tingkat mentri kehakiman.
- Menempatkan akte notaris dan nama yayasan di amplop surat resmi yayasan di balnko yayasan, di proposal, di bulletin jum’at yang dikeluarkan oleh yayasan agar yayasan tersebut terkenal di masyarakat.
- Akte notaris kita gunakan sebagai alat untuk mempermudah mendapatkan pengakuan tertulis (rekomendasi) dari lembaga dakwah pemerintah seperti MUI, DEPAG, dan BAZIZ yang mana sebagaimana diketahui siapa orang-orang yang ada di lembaga-lembaga itu, kalangan politikus, ahlul bid’ah hizbiyyun dsb. Dan kita mau tidak mau memohon, meminta, dan mengemis kepada mereka hanya karena kita ingin mendapatkan rekomendasi dari lembaga-lembaga tersebut.
PASAL SEPUTAR STRUKTUR ORGANISASI YAYASAN
1. Pendirian yayasan
- Yayasan berpedoman dengan sesuatu yang datangnya bukan dari dienul islam yaitu kekuasaan tertinggi dan kekuasaan mutlak di tangan pendiri yayasan. Pendiri yayasan punya hak penuh untuk mendirikan dan membubarkan yayasan. Pendiri yayasan menguasai semua harta yayasan dan berhak mengangkat dan memberhentikan ketua yayasan.
- Begitu penting dan strategisnya posisi pendiri yayasan maka biasanya mau tidak mau posisi ini harus ditempati oleh orang yang paling berpengaru di dalam memimpin dakwah yakni para asatidzah sehingga mau tidak mau seorang ustadz yang kedudukannya sebagai pendiri yayasan harus mempelajari ilmu organisasi dan demokrasi dan apa yang berkaitan dengan keduanya.
- Seorang ustadz terkadang enggan untuk masuk ke dalam urusan organisasi (yayasan) dan menyerahkan kepada orang yang dianggap paham tentang yayasan. Akibatnya betapa banyak kerusakan karena yayasan itu dikendalikan sama orang yang baru belajar agama belum paham manhaj dan hakikat dakwah ahlus sunnah wal jama’ah.
- Beban yang sangat besar bagi Ustadz yang menempatkan diri sebagai pendiri yayasan karena dialah orang yang paling bertanggung jawabterhadap apa saja yang dilakukan yayasan baik secara hukum pemerintah terlebih lagi dalam hukum syar’i, seperti masalah pengurusan yayasan, hubungan dengan masyarakat, tasawwulat, pemakaian harta yayasan dll, sehingga mau tidak mau dia harus terjerumus dan terpengaruh dengan urusan organisasi. Sebab dia hidup dan berdakwah di bawah naungan yayasan dan ditanggung seluruh kebutuhannya oleh yayasan. Bagaimana mungkin dia mau lari dari perkara ini atau membubarkan yayasan yang dia dirikan sementara dia sangat butuh dan bergantung kepada yayasan itu.
- Timbul permasalahan yang besar dan rumit ketika pendiri yayasan itu lebih dari satu orang, terlebih lagi yang berkaitan dengan seluruh harta yayasan, siapa yang mewarisi?
- Seorang ustadz sudah jatuh wibawanya ketika sudah sangat bergantung kepada yayasan seperti masalah insentif (mukafa’ah) bulanan dan segala hal yang berkaitan dengan kebutuhan dan pembiayaan dirinya, keluarganya dan markaznya maka bukan sesuatu yang mustahil ketika yayasan sudah tidak butuh lagi sama ustadznya atau terjadi perselisihan di antara keduanya maka ustadznya ditinggalkan dan diusir.
- Antara ustadz dan pengurus yayasan sulit untuk menerapkan amar ma’ruf nahi mungkar, sebab keduanya saling bergantung saling berkait dan saling mengambik manfaat.
- Seorang ustadz ketika akan mendirikan yayasan atau ketika sedang merumuskan program kerja dan kegiatan yayasan tidak pernah bertanya kepada ulama bahkan tidak pernah menjelaskan kepada pengurus yayasan tentang hukum yayasan di dalam mengurus dakwah. Sehingga akibatnya betapa banyak penyimpangan syar’i yang dilakukan dikarenakan penggunaan yayasan untuk mengurus dakwah.
2. Pengurusan yayasan
- Pengurus yaaysan biasanya orang yang paham tentang ilmu organisasi walaupun ilmu agamanya kurang, dan juga biasanya pengurus itu diambil dari orang-orang kaya atau orang yang punya pengaruh.
- Pengurus yayasan yang aktif dan mencurahkan semua tenaga waktu dan pikirannya untuk yayasan mendapatkan tunjangan setiap bulan dari yayasan. Keadaan ini menjadikan seorang pengurus menjadi terikat dan tergantung kepada yayasan.
- Pengurus yayasan yang aktif biasanya tidak ihtimam dan tidak bersemangat di dalam menuntut ilmu (dars hifdzul qur’an, atau ahadits) di antaranya diseabkan sibuknya di yayasanterlebih lagi ketika yayasan sedang melakukan program kerja yang besar seperti pembebasan lahan dll.
- Pengurus yayasan terkadang begitu semangat aktif di yayasan Karena dia merasa di semangati oleh ustadznya bahwasanya dia punya keutamaan atau fadhilah di dalam dakwah ini.
- Pengurus yayasan terkadang merasa terbebani dengan aktif di yayasan berkaitan dengan waktu dan tenaga yang mereka kerahkan untuk yayasan sementara urusan pribadi dan rumah tangga dikebelakangkan.
PASAL AKTIVITAS YAYASAN
1. Rapat yayasan
- Rutin setiap bulan dan rapat khusu (tertentu).
- Di dalam rapat bulanan semua pengurus harus melaporkan di dalam tugasnya menjalankan program kerja satu bulan dan membuat rencana program kerja 1
2. Lobi dengan proposal ke baitul mal perusahaan atau baitul mal pemerintah (BAZIZ) dengan rekomendasi DEPAG, MUI, akte notaris.
3. Lobi ke manajemen/pempinan perusahaan agar bisa menggalang dana secara langsung kepada seluruh kariyawan perusahaan yang bersangkutan.
4. Menempatkan ikhwah salafi yang punya jabatan atau kedudukan di perusahaan untuk penggalangan dana.
5. Menerima uang risywah untuk biaya program yayasan di antaranya untuk pembebasan lahan.
6. Merangkul orang kaya (kontraktor perusahaan dll) menempatkan mereka di pengurusan yayasan atau sebagai donatur.
7. Menghimbau semua ikhwah dan akhwat untuk menjadi donatur tetap di antaranya dengan cara membuat kartu/lembaran infak perbulan.
8. Menyebarkan proposal berupa lembaran ke mana saja yang berisi himbauan untuk berinfak sekaligus mencantumkan rekening bank yayasan dan dan mencantumkan kuitansi, dan lembaran ini sampai ribuan exemplar.
9. Mengerahkan semua ikhwah salafi untuk terlibat dalam penggalangan dana dengan cara menyebarkan proposal di kalangan karib kerabat atau teman kerjanya begitu seterusnya secara berantai.
10. Menyearkan proposal lewat internet dengan cara mengirim proposal tersebut ke email para muhsinin.
11. Mengadakan publikasi/sosialisasi program yayasan diselingi dakwah para asatidzah untuk memacu kaum muslimin untuk berinfak.
12. Meminta-minta di mesjid-mesjid, para peminta (ikhwah salafi) berdiri di depan pintu masjid ketika jama’ah shalat jum’at hendak keluar masjid.
13. Mengiklankan program yayasan di buletin jum’at yang dikeluarkan pondok setempat yang jumlahnya ribuan disuplay setiap jum’at.
14. Menghimbau para ikhwah atau donatur untuk menyalurkan zakat hartanya ke kas yayasan.
15. Menghimau para donatur untuk berlomba-lomba berinfak ke yayasan dalam pembangunan asrama, kantor yayasan, mesjid dll.
16. Membuat selebaran himbauan agar ikhwah menyalurkan zakat fitrahnya ke yayasan. Seagian hasilnya akan disalurkan kepada fakir miskin dan sebagian di simpan untuk makan santri. Beras yang terkumpul biasanya 2 ton.
17. Himbauan untuk berinfak untuk berbuka puasa.
18. Melobi pihak PLN/PDAM agar mau memberikan fasilitas khusus serta minta agar supaya harga listrik dan airnya lebih murah.
PASAL PROPOSAL
Isi dan bentuk proposal
Berupa tulisan, gambar, hitungan, rincian pembiayaan suara yang semuanya itu dicantumkan dengan tujuan mempengaruhi orang yang membacanya agar mau mengeluarkan uang dan mendukung program yayasan yang tertuang di dalam proposal tersebut.
penjelasannya
Di antara beberapa program kerja yayasan adalah:
1. Legalisasi yayasan mulai dari tingkat provinsi sampai tingkat mentri kehakiman.
2. Pembebasan lahan untuk lokasi markaz.
3. Pembangunan masjid
4. Pembangunan asrama tadribud du’at, tadribun nisa, dan tadribul awlad.
5. Pembangunan kantor yayasan beserta seluruh perlengkapan administrasinya (lemari, kursi, computer, alat tulis, telepon, faksimali dll.
6. Pembangunan perumahan asatidzah
7. Pengadaan maktabah (berupa gedung dan buku-buku
8. Membuat dan meletakkan papan nama yayasan dan markas di depan jalan (bayar pajak setiap bulan).
9. Pembangunan poliklinik
10. Pembangunan work shop (bengkel)
11. Mengadakan pemancar radio FM
12. Mencetak bulletin jum’at (3000 lembar/jum’at)
13. Usaha yayasan (kebun jati, sayur mayur, bengkel dll)
14. Penggalangan dana (untuk biaya rutin bulanan, untuk iaya pembangunan, untuk biaya dakwah (dauroh) dll)
PASAL SUMBER DANA YAYASAN
Dana yang dimaksud adalah untuk semua aktivitas dan program yayasan:
1. BAZIS kotamadya dan provinsi.
2. Baitu mal perusahaan yang besar dan kaya.
3. Kontraktor perusahaan
4. Karyawan/pejabat perusahaan
5. Pejabat pemerintah
6. Sisi dana proyek pembangunan.
7. Pengusaha/orang kaya.
8. Seluruh ikhwah salafi.
9. Simpatisan dakwah.
Trik/cara mendapatkan dana
1. Ketuk pintu rumah (sesama ikhwah salafi atau simpatisan dakwah).
* naskah berikutnya juga sobek dari kelengkapan pasal ini.
• Al-Akh Utsman bin Khairuddin Al-Makassari hafidzohullah bersaksi:
Saya dulu sempat menjadi bendahara di ma’had Bajirupa Makassar yang memiliki Yayasan yang bernama “MANIS”, yang saya ketahui adalah sebagai berikut:
-Proposal pembangunan masjid lantai 2, saya memberi stempel proposal tersebut yang dicetak ribuan exemplar hingga tengah malam untuk disebarkan ke sebagian profinsi, hal ini terjadi sekitar tahun 2005.
-Demikian juga untuk pembebasan tanah dibuat kartu untuk diberikan kepada donatur, harga satu kartu itu sejumlah Rp. 400.000.
-Saya juga mendapati kotak infak yang diletakkan di toko-toko, tertulis padanya “Ma’had As-Sunnah Bajirupa”, di cek perbulan, uangnya dipakai untuk keperluan seperti makanan atau iuran listrik…
-Awal saya mondok dan berpuasa Ramadhan di Bajirupa saya melihat nasinya/makanannya untuk berbuka puasa difoto (sebagai tanda bukti) untuk dikirim keluar negri (Kuwait atau Qatar) makanannya ayam. Hal ini terjadi tahun 2004.
-Sebelum Saya berangkat ke Yaman mereka sempat rapat hingga tengah malam sekitar pukul 1 atau 2 malam untuk menetapkan siapa yang menjadi ketua, kepala sekolah TK, SD,…dan anggota-anggotanya kemudian proposalnya dikirim ke Saudi.
-Santri juga disuruh membuat kartu pengenal resmi atas nama Yayasan “MANIS” yang disertai foto santri tersebut.
• Al-Akh Abu Sholih Muslih -hafidzohulloh- bersaksi:
-Kotak-kotak infak di wartel-wartel, toko-toko dan lain-lain.
-Proposal permohonan dana
-Rekening bank: diantaranya pakai nomor rekening dulu (BNI)
-Surat permohonan untuk menyumbang makanan dan minuman buka puasa jama’iy bulan Ramadhan.
-Ketika rapat membahas acara daurah, datang waktu sholat kemudian diakhirkan shalatnya karena pembahasan acara belum selesai.
• Al-Akh Abu Abdirrahman Utsman As-Semarangi hafidzahullah bersaksi:
-Ana dulunya mantan sekertaris Yayasan “Lu’lu’ wal Marjan” di Semarang, setiap bulan kami membagikan proposal atas nama Yayasan kepada muhsinin di antaranya ikhwan yang mampu, orang-orang awam dan universitas-universitas.
-Apabila ada daurah proposalnya diperbanyak dan kotak-kotak infak (infak pengajian).
-Foto-foto pengurus Yayasan (ketua, sekertaris, bendahara) diserahkan kepada notaris.
-Membuat rekening Bank atas nama Yayasan di Bank Muamalah Indonesia cabang Semarang.
-Tanazulat (mengalah, bersifat lumer) terhadap UUD dan hilah (tipu daya) supaya bisa membuat yayasan (ADRT) karena asalnya yayasan di Indonesia harus berdasarkan Pancasila dan undang-undang (thoguthi) akhirnya kami melakukan hilah dengan menyatakan (dengan tulisan): “Yayasan ini, didirikan di Indonesia, yang berdasarkan Pancasila dan UUD,…” yang kami maksudkan ketika itu: Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD, bukan Yayasan kami.
-memperbaharui Yayasan setiap empat tahun sekali.
-Sebagai pelajaran: dulu kami (ikhwan-ikhwan yang lama/qudama) sebelumnya membuat yayasan kalau tidak salah namanya “Nurus Sunnah” yang diketuai oleh Faqih Edi Susilo, lalu kami dimudahkan membangun Masjid “Nurus Sunnah” dengan uang hasil proposal (minta-minta) setelah selesai pembangunannya dengan ta’awun, terjadilah fitnah Sururiyyah, akhirnya Karena ketua yayasannya terkena fitnah sururiyyah maka mesjid tersebut jatuh ketangan mereka, mesjid ini adalah asal tempat mubahalah Ja’far Thalib dan Fu’ad Haza (orang mesir).
Ya Ari Sasongko dari jalan mana kamu bisa berdusta atau menutup-nutupi apa yang pernah terjadi di daerah kita!
• Abu Yusuf Abdul Malik Al-Amboni -hafidzohulloh- berkata:
Beberapa tahun yang lalu ana bersama abang Husein (Ketua Yayasan Abu Bakar As-Shiddiq Ambon) menyodorkan proposal untuk pembangunan masjid dan ma’had, di kantor pusat PLN Ambon (Ana bertaubat dari perbuatan ini dan menyesal dari perkara ini).
Ana juga dulunya sebagai bendahara masjid Al-Ma’ruf Ambon, yang setiap jum’at ana mengumpulkan uang untuk dakwah dari kotak-kotak infak karena dulunya ana tidak tahu dalil larangan meminta-minta dan para ustadz di Ambon tidak ada pengingkaran di dalam perkara ini.
• Abul Jauhar Adam Al-Amboni -hafidzohulloh- berkata:
Ketika saya keluar dari mesjid setelah kepulangan saya dari Tembagapura saya bertemu dengan Ustadz Azhari yang sedang membawa beberapa proposal. Beliau bertanya kepada saya: Mana Subhan Umar? (dia adalah salah satu ikhwah yang bekerja di Tembagapura) Saya menjawab: Ada keperluan apa? beliau mengatakan: saya ingin memberikan proposal-proposal ini kepada dia dalam rangka untuk pembangunan “Tahfidz Putri” (kalau tidak salah).
• Al-Akh Umair bin Mursalim hafidzohulloh berkata:
Sarbini hadahulloh pernah mengatakan sebelum pergi dari pangkep yang maknanya: “Saya bisa tetap tinggal di sini (Pangkep Yayasan Riyadhus Sholihin) dengan syarat saya yang menjadi ketua Yayasan”.
• Abu ‘Abdirrohman Shiddiq Al-Bugisi hafidzahullah berkata:
Dulu ketika ana masih di Soroako Sulawesi sebelum meninggalkan sekolah dan berangkat untuk mondok, kami sempat beberapa kali mengundang Ustadz Askari –hadahulloh- untuk mengisi di sana. Ketika dia datang ke sana, sempat sekali ana melihat lembaran-lembaran yang dipegang oleh seorang ikhwah berisi foto-foto bangunan pondok pesantren pangkep yang belum jadi, dugaan ana yang kuat lembaran-lembaran itu adalah proposal untuk menggalang dana. Wallahu A’lam, kalau tidak, apa tujuan mereka mengambil foto ma’had yang belum jadi?
• Al-Akh Abul ‘Abbas Khadir bin Nursalim hafidzahullah berkata:
-Khaliful Hadi berkata: “Kalau pemerintah sudah mengeluarkan uang yayasan ini, kita pakai uangnya untuk maktabah (perpustakaan) pondok kita”.
- Khaliful Hadi juga pernah berkata: “Dzulqornain (Makassar) telah berjanji akan memberikan dana untuk pembangunan masjid ini (masjid Yayasan Darul Atsar) ketika Dzulqornain masih di Saudi, dan ketika kami di Ma’had Dhiyaus Sunnah Cirebon ada sebagian kawan kami memperlihatkan foto masjid Kuningan milik Fathur Rohman bahwa masjid tersebut dibangun atas dana dari Dzulqornain, maka timbul dibenak kami, Dzulqornain ini sering ke Saudi untuk belajar atau untuk mencari dana?
-Saya melihat di Masjid As-Sunnah (Yayasan Markaz An-Nasyad Al-Islami Bajirupa) ketika peresmian masjid untuk khutbah jum’at maka dipesanlah minbar sekalian dua kotak infak yang terbuat dari kayu berkaki empat yang dipajang di pintu sebelah kiri masjid dan dipajang di pintu depan, dan kami juga melihat di toko milik bapaknya Dzulqornain terdapat kotak infak yang terbuat dari kaca berkaki empat dari alumunium.
• Salah satu bukti proposal untuk meggalang dana:
YAYASAN ASY SYARIAH
NOTARIS Mohammad Agus Hanafi, SH.
No. 16 Tanggal 31 Mei 2005
Alamat kantor jl. Gedean Km. 5 Gg Kenanga No. 26 B Patran Yogyakarta Telp. (0274) 626139 / Hp. 08157911895
بسم الله الرحمن الرحيم
No. : 01/PD IV/V/2008
Hal : Permohonan Penggalangan Dana
Kepada Segenap Asatidzah
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Segala puji hanya bagi Allah ـ, shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabiع, keluarganya, shabatnya, dan orang-orang yang mengikuti beliau ع hingga akhir zaman.
﴿ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴾
عن أَبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنيَا ، نَفَّسَ الله عَنْهُ كُربَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ القِيَامَةِ ، وَمَنْ يَسَّر عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ الله عَلَيهِ في الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ الله في الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ ، والله في عَونِ العَبْدِ مَا كَانَ العَبْدُ في عَونِ أخِيهِ ، وَمَنْ سَلَكَ طَريقاً يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْماً سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَريقاً إِلَى الجَنَّةِ
Dauroh masyaikh IV di Yogyakarta Insya Alloh akan dilaksanakan 24 juli -4 Agustus 2008, di antara masyaikh yang Insya Alloh akan hadir adalah:Asy syaikh Muhammad bin Hadi Al Madkholi, Asy Syaikh Abdullah Al-Bukhari, Asy-Syaikhh Abdullah Al-Mar’i, AsySyaikh Abdurrahman Al-Mar’i, AsySyaikh Muhammad bin Umar Bazmul, Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul, Asy-Syaikh Khalid Adz Dzufairi.
Dana yang dibutuhkan untuk pelaksanaan dauroh tersebut diperkirakan sebesar Rp. 439.825.000,00. Oleh karena itu kami mengharapkan ta’awun dari asatidzah untuk melakukan penggalangan dana di daerah.
Pengiriman dapat dilakukan lewat rekening BCA KCU Yogyakarta no. rek. 0372529740 an. Ilyas bin Thohir
Jazakumullahu khairan
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Yogyakarta, 6 Mei 2008

Al Ustadz
Usamah Mahri, Lc.
Al Ustadz
Qomar ZA

Al Ustadz
Hanan Bahanan
Al Ustadz
Abdul Jabbar
* Dilengkapi dengan tanda tangan para ustadz tersebut.
TANGGAPAN TERHADAP FATWA-FATWA ULAMA YANG DINUKIL
TANGGAPAN TERHADAP FATWA ASY-SYAIKH AL-ALBANI RAHIMAHULLAH
Kelengkapan fatwa beliau adalah sebagai berikut sebagaimana pada kasetnya, setelah menyebutkan point kedua dari jawaban beliau dan yang dinukil Askari adalah point pertama:
وثالثا ولعله يكون أخيرا :هذه الجمعية, إذا كانت على الشرع كما اشترطنا فالمال الذي يجمع أين يوضع أين يُحرس هنا سؤال, لعلك أن تجيبني عليه.
قال السائل: يعني المال التي يجمع طبعاً هناك اشترط وزارة تأمينات أننا نفتح حساباً في البنك والجمعية تضع بعض المال في البنك حتي يتم الحساب الجاري, (تكلم الشيخ رحمه الله كلاما غير واضحة) الحساب الجاري وليس بحساب الفائدة وبعضه طبعا هي تحاول صرفه أولا بأول إلي مستحقها.
قال الشيخ: في هذا يكفي لهدم المشروع, فإذا كان لا يمكنكم أن تتخذوا صندوقاً, لا تمتد إليه يد الربا, فعندنا عبارة في سوريا تقول “نادو عليها بطالة” “نادو عليها بطالة” كل الجمعيات التي تقوم اليوم على الأسف بسبب نظم الحاكمة بغير ما أنزل الله تقوم على إيداع المال في البنك, بعضهم يتحفظ كما أنت ذكرت آنفاً لكن من ناحية العمالية لايمكن إلا أن يودع المال بكميته في البنك للمحافظة عليه, وهذا في الواقع يعود إلي أن المسلمين أنفسهم ليسوا كما ضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم مثل لهم كالجسد الواحد إذا اشتكي منه عضو تداعى له سائر الجسد فلا يجد الجماعة التي تسعي في سبيل أو في مشروع خيري لا تجد شخصا تستطيع أن تأمنه على مالها ثم إن وجدت هذا الشخص وقد لا تستطيع أن توجد له حماية لهذا المال الذي سيودع له فإذا لم توجد هذه الركائز لجعل أي جمعية خيرية إسلامية الشرعية فأنا لا أنصح بالعمل لا لأن هذه الجمعية محدثة وبدعة لا لأني قدمّت في الجواب بأن الوسائل تختلف بشرط أن تؤدي إلي مقاصد شرعية ألا وأنا أقول هذا لأنني سئلت عن هذا السؤال من اليمن نفسه هاتفياً وأجبت ما هذا خلاصته ولذلك أنا لا أنصح بالإستمرار في مثل هذا العمل إلا إذا كان يمكن تصغير المشروع كما أشرت إليه في أول الجواب أو هذا من ناحية العملية ثم إذا صغر ربما أن الحكم القائمة هناك قد يسمح لعدم إيداع هذا المال المصغر عن ذاك المال الكبيرفي مكان حريز في حفظ إنسان أمين.
قال السائل: وما دامت اسمها الجمعية فالنظم لا يسمح بقرد أيّت الجمعية.
.قال الشيخ: هذا فهم, فهم هذا وفهم جوابه
قال السائل: نعم, في حالت أنه تجنب هذا المحذور يعني ما تعليقكم مثلا أو مالحكم في القضية إيراد الحديث و الأية
قال الشيخ: في إيراد هذه الأحاديث يخشي أن تدخل فيما نهي الله عنه: ﴿ فلا تزكوا أنفسكم هو أعلم بمن اتقى ﴾ [النجم/32]…إلخ
Ketiga; dan barangkali ini yang terakhir, apakah Jum’iyyah ini apabila berjalan di atas syariat sebagaimana yang kami syaratkan, ada pertanyaan, harta yang dikumpulkan oleh jum’iyyah itu di manakah disimpan? Di mana diamankan? Barangkali engkau (wahai penanya) bisa menjawabnya …
Si penanya berkata: Adapun harta yang dikumpulkan, mentri keamanan mensyaratkan untuk membuka rekening bank dan menaruh uang di situ sampai selesai upah pelayanan, bukan termasuk bunga. Sebagian mereka berusaha agar mengambil harta yang terkumpul pertama kali masuknya langsung diserahkan kepada orang yang berhak.
Asy-Syaikh berkata: Ini cukup sebagai dalil untuk membatalkan kegiatan jum’iyyah ini, Apabila tidak memungkinkan bagi kalian mengadakan kotak yang tidak dilumuri amalan riba, Di Suriyah ada pepatah yang mengatakan: “Hal ini mendatangkan bencana”, “Hal ini mendatangkan bencana” Sangat disayangkan, disebabkan tatanan pemerintah yang menyelisihi apa yang Alloh turunkan akhirnya semua Jam’iyyah yang didirikan masa sekarang ini diharuskan untuk menyimpan uang di bank, sebagian mereka benar sebagaimana yang engkau sebutkan, tidak mengambil ribanya, namun dari segi penerapannya tak mungkin bisa kecuali menyimpan uang di bank dengan alasan untuk menjaganya, fenomena ini disebabkan karena kaum muslimin sendiri tidak berada pada permisalan yang dimisalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘bagaikan satu jasad’, apabila salah satu anggota jasadnya itu merasa sakit, anggota badannya yang lainpun akan merasakannya, Jama’ah yang berupaya di jalan atau proyek kebaikan, tidak mampu mendapatkan orang yang dapat dipercaya menyimpan uangnya, kemudian kalaupun dapat terkadang orang itu tidak mampu mendapati tempat untuk menjaganya. Apabila tidak diperkenankan bagi jum’iyyah khairiyyah islamiyyah tersebut mengadakan tempat penyimpanan uang baginya, maka saya tidak menasehatkan untuk mendirikannya, bukan karena Jum’iyyah ini adalah perkara muhdats dan bid’ah, tidak, dan telah lewat jawabannya karena sarana-sarana (kebaikan) bermacam-macam, tapi dengan syarat menghantarkan kepada tujuan-tujuan yang disyari’atkan.
Dan ketahuilah saya menyatakan ini karena aku juga telah ditanya melalui via telepon dengan pertanyaan yang serupa dari Yaman dan saya telah menjawabnya yang intisarinya seperti jawaban ini, oleh karena itu saya tidak menasihatkan untuk terus melanjutkan amalan ini kecuali apabila memungkinkan untuk memperkecil proyek sebagaimana yang aku isyaratkan kepadanya diawal jawabanku atau hal ini dari sisi amalan, kemudian apabila setelah diperkecil mungkin saja pemerintah setempat mengizinkan untuk tidak menyimpan uang tersebut di bank dan menyimpannya di tempat yang aman dengan penjagaan orang yang terpercaya.
Penanya berkata: Bagaimanapun keadaannya selama namanya adalah Jum’iyyah pemerintah tidak akan mengizinkan Jum’iyyah manapun.
Asy-Syaikh berkata: Hal ini sudah dipahami, ini telah diketahui dan dipahami jawabannya.
Penanya berkata: Na’am (Iya)…-selesai yang diinginkan-
Pada jawaban beliau pada point ketiga tampak jelas beliau mengatakan batalnya proyek jum’iyyah ini hanya karena menyimpan uang di Bank, bagaimana kiranya jikalau beliau Rahimahullah mengetahui lebih dari hal ini dari penyelisihian terhadap syariat yang telah tertera pada kitab “Al-Jum’iyyaat Harokah bila Barokah” juga beliau tidak menasihatkan untuk terus berjalan pada kegiatan ini kalau tidak bisa berlepas diri dari menyimpan uang di Bank. Kami bertanya kepada Askari hadahulloh apakah yayasan ma’had kamu –yang kamu sedang ‘mendulang’ maksiat darinya- telah berlepas dari mu’amalah dengan bank? kami tidak mengira hal itu, kalau toh sudah berlepas diri apakah bisa terlepas dari perkara-perkara yang menyelisihi syariat lainnya yang paling minim adalah salah satu kabair (dosa besar)??
Kita juga tidak mengingkari bahwa Asy-Syaikh Al-Albani Rahimahullah tidak mengatakan Al-Jum’iyyah itu bid’ah, Namun kami mengatakan fatwa beliau bahwa Jum’iyyah bukan bid’ah adalah keliru sebagaimana kelirunya beliau pada fatwa bolehnya bagi seorang akhwat untuk tidak menutup mukanya, karena hal itu tidak wajib, dengan meyakini bahwasanya beliau adalah seorang mujtahid beliau mendapat satu pahala jika salah dalam ijtihadnya, bahkan beliau adalah imam tanpa diperselisihkan, namun bukan berarti beliau itu ma’shum. Adapun contoh yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Rahimahulloh seperti pesawat, alat rekam, mobil…; kami katakan, semua hal itu belum ada pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan zaman tabi’in dan tabi’ut tabi’in, adapun Yayasan untuk membuatnya adalah suatu hal yang memungkinkan pada waktu itu namun mereka -para salaf- tidak mengadakannya. Lagi pula sekedar alat-alat tersebut tiada kemungkaran pada asalnya.
Juga perlu diingatkan bahwa yang bertanya kepada beliau adalah orang dari Jum’iyyah Al-Hikmah Yaman yang telah di vonis oleh Syaikh Muqbil Rahimahullah sebagai hizbiyyah (namanya Abdul Majid Ar-Roimi salah satu pembesar surury sebagaimana kata Syaikhuna Thoriq Al-Ba’dany hafidzahullah), pada pertanyaannya mereka menyebutkan misi-misi mereka yang dihiasi dengan berpegang teguh dengan kitab dan sunnah dan pemahaman salaf menurut sangkaan mereka, ternyata dibalik semua itu adalah hizbiyyah yang terselubung, padahal para masyayikh sunnah di Yaman bersamaan dengan semangat mereka untuk berdakwah dan berbuat kebaikan, tidak ada di antara mereka yang mendirikan Jum’iyyah. Kami khawatir maksud mereka dengan pertanyaan mereka ini menuduh kegiatan tersebut adalah bid’ah, mereka maksudkan Asy-Syaikh Muqbil Rahimahullah. Dan telah lewat ucapan (jarh) Asy-Syaikh Muqbil terhadap mereka sebagaimana pada risalah “Untaian Mutiara” milik Al-Akh Abu Turob hafidzahullah, dan juga pada terjemahan Mukhtashor Bayan, walhamdulillah.
Dapat diambil faidah dari fatwa ini bahwasanya Asy-Syaikh Al-Albani tidak memiliki ataupun mendirikan Jum’iyyah dan tidak pula mengetahui seluk beluknya secara mendalam, karena memang beliau tidak terjun langsung pada kegiatan yayasan, salah satu buktinya beliau menanyakan contoh satu soal saja yang barangkali kalau beliau menanyakan lebih dari itu tentu lain hukumnya. Wallahu a’lam.
TANGGAPAN TERHADAP FATWA ASY-SYAIKH BIN BAAZ RAHIMAHULLAH
Pada fatwa beliau ini mereka menyebutkan kebaikan-kebaikan yang menjadi misi mereka yang dihiasi dengan kitab dan sunnah sebagaimana yang mereka sangkakan -padahal Jum’iyyah Anshorus Sunnah di Sudan merupakan Jum’iyyah hizbiyyah- sampai-sampai Asy-Syaikh Muqbil Rahimahullah mengatakan “Anshorul bid’ah” , telah lewat ucapan Asy-Syaikh Muqbil sebelumnya, hal ini mengingatkan kita dengan Jama’ah Tablig, tatkala Asy-Syaikh bin Baaz berfatwa yang mendukung mereka, dengan gencar mereka sebar luaskan dan bergembira dengan fatwa tersebut, namun ketika beliau telah mengetahui hakikat mereka, beliaupun berfatwa mengenai kekeliruan mereka.
TANGGAPAN TERHADAP FATWA ASY-SYAIKH MUQBIL RAHIMAHULLAH
Adapun ini wahai Askari fatwa dulu, setelah itu beliau berfatwa sebagai berikut:
والجمعيات هذه يا إخوان هي وسيلة وكذا الصندوق إي نعم الطريق إلى الحزبية والوسيلة إلى الحزبية.
“Dan jam’iyyah-jam’iyyah ini ya ikhwân merupakan wasîlah (perantara) dan juga kotak-kotak infaq, sungguh betul (itu merupakan) jalan menuju kepada hizbiyyah perantara kepada hizbiyyah.” Selesai [dari kaset "Asilah Bani Bakr", pada tahun 1421H, Setahun sebelum wafatnya Al-Imâm Al-Wâdi'î rahimahullah]
Sebelumnya beliau berkata: “Yayasan pada zaman Nabi sama sekali tidak ada, akan tetapi datangnya dari musuh-musuh Islam yang kemudian diikuti oleh sebagian kaum muslimîn. Dan kebanyakan yayasan di dalamnya terdapat penyimpangan-penyimpangan, -sampai perkataan beliau- Betul, kita tidak mengharomkan bagi masyarakat apa yang Allôh halalkan, akan tetapi, yang kita takutkan ini hanyalah tipu muslihat saja, -sampai perkataan beliau- Yayasan-yayasan ini wahai ikhwah dia adalah sarana demikian pula kotak amal-kotak (sedekah) jalan menuju hizbiyyah dan sarana menuju hizbiyyah. (Disadur dari pertanyaan Bani Bakr di Yâfi’ pada tahun 1421 H).
Wasilah kepada keharoman hukumnya juga harom sebagaimana yang diketahui bersama, dan hizbiyyah hukumnya harom
Dan seorang Ulama terkadang membolehkan sesuatu karena belum nampak dan jelas baginya bahaya, kebobrokan dan kerusakan ataupun kmuhdatsan sesuatu itu, kemudian setelah nampak baginya al-haq pada permasalahan itu ia-pun mengambil al-haq tersebut dan tidak mengindahkan dan tidak pula malu untuk taroju’ dari fatwanya yang dulu, contohnya Asy-Syaikh ibn Baz rahimahullah pada fatwa beliau memuji Jama’ah Tablig, demikian juga Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah, dulu beliau pernah berfatwa akan bolehnya pemilu dan menasihatkan untuk memilih orang yang sholeh, kemudian setelah nampak bagi beliau keharamannya beliau taroju’ dan berkata saya dulu membolehkannya dan menyuruh memilih orang yang sholeh, maka saya salah dan saya memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepadanya –dinukil secara makna sebagaimana dikabarkan kepada kami Syaikhuna Yahya Al-Hajuri hafidzahullah-. Sebelum semua itu Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘anhu pernah berpendapatbahwa orang yang membunuh jiwa yang diharamkan membunuhnyadengan sengaja tiada taubat baginya, kemudian setelah itu beliau berkata kepada seorang yang membunuh dengan sengaja: bertaubatlah kepada Allah, sebagaimana di kitab Adabul Mufrod milik Imam Al-Bukhori rahimahullah.
TANGGAPAN TERHADAP FATWA ASY-SYAIKH RABI’ HAFIDZAHULLAH
Jelas sekali beliau mengatakan pada fatwa ini bahwa mendirikan Jum’iyyah di negri Su’udiyyah tidak boleh karena keberadaan jum’iyyah atau partai akan menyebabkan perpecahan ummat ini dan bertentangan dengan perkataan Allah:
﴿ وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ﴾ [آل عمران/103]
“Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian berpecah belah.”
Jadi dapat kita pahami pada fatwa beliau ini, jum’iyyah atau partai adalah sebab dan wasilah yang akan mengakibatkan perpecahan ummat, dan bahwasanya keberadaannya bertentangan dengan perkataan Allah yang telah lewat yang mengandung larangan kepada kita semua untuk berpecah belah dengan kata lain menyelisihi syari’at atau menyelisihi perintah Allah agar jangan berpecah belah. Dan juga perlu diingat ‘berpecah belah’ atau memecah belah kesatuan kaum muslimin, hukumnya haram.
Hanya saja dapat dipahami pada fatwa beliau apabila pemerintah memaksa dan tidak bisa tidak kecuali demikian, maka tidak mengapa mendirikan Jum’iyyah untuk berdakwah sebagaimana di India,
Kami katakan: kalau memang keadaannya demikian maka sama halnya dengan perkara haram lainnya yang diwajibkan oleh pemerintah untuk melakukannya, contohnya membuat passfort yang digunakan untuk berhaji yang merupakan perkara yang muhdats bahkan di dalamnya terdapat foto yang haram, maka dosanya ditanggung oleh orang yang mewajibkannya dan membuat-buat perkara yang mungkar tersebut (sebagaimana fatwa Syaikh Muqbil dan selain beliau dari ulama), disertai dengan pengingkaran dan rasa benci kita terhadap kemungkaran tersebut sekurang-kurangnya dalam hati dan jika mampu dengan memberi nasihat kepada pemerintah dalam rangka menunaikan kewajiban menasihati dan pengingkaran dan sekaligus berlepas diri dari kemungkaran tersebut. Bukan malah mengatakan itu adalah barokah atau mendulang berkah dengan membuatnya dan tetap memanfaatkan ‘akte notaris’nya untuk membuat proposal juga tidak perlu menaruh uang di Bank ribawi demikian pula tidak sepatutnya menilai orang yang mengingkarinya dan menghukuminya sebagai suatu hal yang muhdats dan harom dengan ungkapan ‘lisan-lisan kotor’ atau menggelarinya ‘turobi’, cukup katakan benar demikian namun kami terpaksa karena pemerintah mengharuskan hal itu. Ini kalau keadaannya demikian, bagaimana kalau ternyata berdakwah tanpa Yayasan itu bisa dilakukan di negri pertiwi? Bukankah lebih baik dan berbarokah kalau berdakwah tanpa Yayasan? Jadi jum’iyyah itu asal membuatnya haram kecuali terpaksa sebagaimana di India dan dosanya ditanggung orang yang mewajibkannya sebagaimana yang telah lewat.
Juga dapat diambil faidah dari sini bahwasanya Asy-Syaikh Rabi’ hafidzahullah tidak memiliki ataupun membuat Jum’iyyah dan melarang membuatnya di negri yang bukan sekuler atau yang tidak melarang berdakwah tanpanya, adakah yang mengambil pelajaran?…
Barangkali kamu wahai Askari atau pembaca sepakat bahwa fatwa ini justru hujjah bagi kami dan hujatan atasmu, namun kamu tidak menyadarinya, wallahul musta’an.

TANGGAPAN TERHADAP FATWA BAKR ABU ZAID RAHIMAHULLAH TA’ALA

Pada akhir penukilan ucapan tersebut beliau berkata: “Namun perubahan ini dibatasi dengan koridor syari’at, diukur berdasarkan timbangan al-kitab dan as-sunnah, yang apabila ada sesuatu yang menyimpang darinya, maka wajib untuk dijauhkan dan berlepas diri darinya.”
Telah lewat penyebutan beberapa penyimpangan-penyimpangan Yayasan dari al-kitab dan as-sunnah sebagaimana telah lewat pada makalah ini dan sebagaimana pada risalah “Jum’iyyah Harokah bila Barokah” dan telah selesai penerjemahannya bihamdillah, jadi tinggal mengaplikasikan ucapan beliau: “maka wajib untuk dijauhkan dan berlepas diri darinya.”
Dan di antara penyimpangannya adalah: Menyimpan uang di Bank ribawi, pada prosedur pembuatannya menyerahkan foto tanpa darurat, merupakan sebab perpecahan ummat yang menyelisihi larangan Allah dalam Al-Qur’an agar tidak berpecah belah –lihat kembali fatwa Asy-Syaikh Rabi’ yang dinukil oleh Askari di makalahnya itu- mencanangkan Al-Waro wal Baro yang sempit sebagaimana yang kita dapati sekarang di Indonesia tidak seorangpun yang mengingkari Yayasan tersebut kecuali mereka musuhi dan menggelarinya dengan gelar turoby, tidak didapati seorang salafpun yang mendirikannya dan Jum’iyyah-jum’iyyah terutama di Yaman hanyalah dimiliki oleh para hizbiyyin contohnya: Jum’iyyah Ihsan, Jum’iyyah Al-hikmah, perlu diketahui tak seorangpun dari ulama sunnah Yaman yang mendirikan Jum’iyyah dan di luar Yaman jum’iyyah Al-Bir di Dubai, Jum’iyyah At-Turots di Kuwait, Jum’iyyah Anshorus Sunnah di Sudan , sementara Allah Ta’ala berkata:

﴿ وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ ﴾ [الحشر/19] .

“Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri-diri mereka sendiri. mereka Itulah orang-orang yang fasik.”[QS. Al-Hasyr: 19]
Dan termasuk dari golongan ‘orang-orang yang lupa kepada Allah’ dan termasuk golongan ‘orang-orang fasik’ adalah: ahlul bida’ dan hizbiyyah termasuk kebid’ahan, oleh karena itu Imam Ahmad rahimahullah membenci membiasakan atau sering memangkas rambut sampai gundul karena itu adalah kebiasaan ahlu bida’ dari kalangan khawarij. Demikian juga hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
((وجعلت الذلة والصغار على من خالف أمري ومن تشبه بقوم فهو منهم))
“Dan ditimpakan kehinaan dan kerendahan bagi siapa yang menyelisihi perintahku, dan barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.”
Tidakkah kita mengamalkan ayat dan hadits di atas untuk tidak menyerupai kebiasaan para ahlul bathil di antaranya adalah para hizbiyyin?
Faidah: Asy-Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali di tanya ketika berkunjung ke Dammaj sebagai berikut:
السؤال الأول : ما حال الجمعيات مطلقا ؟ فما رأيكم في لمن يجيز الانتخابات ؟؟؟
الجواب : أما الجمعيات فمن معرفتي بواقعها وإن أسست على مبدأ التعاون فإن مسيرها إلى التحزب ، ما رأيت جمعية إلا وهي متحزبة ، وإن بدت في بدايتها بعيدة عن الحزبية ، أو أنها تحول أن تتملص عن الحزبية إلا أنيابها تنالها وتدخلها بين فكيها ، فالجمعيات كلها متحزبة ، إلا من رحم الله وقليل ما هي، حسب معرفتي، وحسب علمي وحسب خبرتي في هذه الجمعيات ، …
Apa hukum Jam’iyyah secara umum? Dan apa pendapatmu terhadap orang yang membolehkan pemilu?
Jawab: “Adapun Jam’iyyah maka pengetahuanku tentang kondisi aslinya, walaupun didirikan pada mulanya atas dasar tolong-menolong, namun dalam perjalannya menuju hizbiyyah. Aku tidak melihat sebuah jam’iyyah pun kecuali dia itu hizbiyyah. Walaupun tampak pada awalnya jauh dari hizbiyyah atau dia telah berusaha untuk menyelamatkan diri dari hizbiyyah, namun taring-taring hizbiyyah telah mencengkramnya, Maka semua jam’iyyah adalah menimbulkan hizbiyyah, kecuali yang Alloh rahmati dan itu sangat sedikit. Ini sebatas pengetahuanku dan ilmuku serta pendalamanku tentang jam’iyyah tersebut.
Kemudian beliau ditanya lagi setelahnya sebagai berikut:
الشيخ الكريم سليم الهلالي – سددكم الله – قلتم : لا تعرفون جمعية إلا وهي حزبية إلا من رحم الله وقليل ما هم ، ما مقصودكم ، ولمن هذا الاستثناء جزاكم الله خيرا .؟؟
الجواب : يعني قصدي من هذا الاستثناء إن علم أحد أن هناك جمعية ليست حزبية فليخبرني حتى أغير موقفي من الجمعيات.
Syaikh yang mulia, Salim Al Hilaly –Semoga Alloh mengokohkanmu- Anda mengatakan bahwa anda tidak mengetahui jam’iyyah melainkan ada hizbiyyahnya, kecuali yang Alloh rahmati yang jumlahnya sedikit. Apa maksud dari perkataan ini?? Dan siapakah yang dikecualikan?? Jazakumullohu Khoiron.
Jawab: Maksudku dengan pengecualian ini adalah barangsiapa yang mengetahui bahwa disana ada sebuah jam’iyyah yang tidak hizbiyyah maka beri tahukan kepadaku, supaya aku mengubah sikap terhadap jam’iyyah-jam’iyyah (tersebut).
TANGGAPAN TERHADAP FATWA SYAIKH SHALIH ALUS SYAIKH HAFIDZAHULLAH TA’ALA
Sunhanallah sungguh aneh kamu wahai Askary, fatwa yang seharusnya menjadi hujjah bagi lawanmu kamu tarik-tarik supaya seolah-olah itu adalah hujjah bagimu, nampaknya kamu terburu-buru dalam menukil fatwa ini, –bacalah ucapanmu pada muqoddimah makalahmu ini sebagai nasihat agar jangan terburu-buru-, coba perhatikan lagi fatwa beliau ini, pada fatwa ini tidak ada sama sekali beliau menyinggung Yayasan yang beliau singgung adalah Jama’ah yang berkumpul untuk berdakwah, berbuat kebaikan, menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, melakukan bimbingan dan perbaikan, bukankah kita semua dalam suatu ma’had terutama di sini demikian adanya -walillahil hamd- yang satu mengajar yang lain menuntut ilmu dan yang lain merangkap sebagai mas’ul (penanggung jawab) dalam suatu bidang tertentu jika mashlahat menuntut untuk itu seperti mas’ul sakan, mas’ul khutbah hari jum’at (mengatur siapa yang akan berkhutbah di masjid ini dan siapa yang di masjid lainnya agar tidak terjadi tabrakan), mas’ul masak, mas’ul durus (mengatur durus yang akan dibuka, tempat dilangsungkannya dan pengajarnya agar tidak bertabrakan satu sama lain dan dapat berjalan dengan lancar)? Bukankah kami di sini dan beberapa du’at yang tidak membuat Yayasan di sana juga bisa melakukan kerjasama dalam kebaikan semacam ini tanpa menuntut adanya Yayasan?
Yang ada adalah kerjasama sebagaimana fatwa beliau ini, demikian juga bersatu dan tidak berselisih sebagaimana perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bukti bahwa fatwa ini adalah hujjah bagi kami dan bukan bagimu bahkan fatwa ini adalah hujjatan bagimu adalah ucapan beliau: “Adapun ta’at dalam artian: yang mengikuti harus ta’at atasannya, yang diperintah harus ta’at kepada pimpinannya, maka ini tidak diperbolehkan di negara Islam. Sebab ini merupakan keta’atan khusus, yang tidak ada nashnya yang menyebutkan hal itu, yang ada adalah ketaatan dalam keadaan safar, karena ada yang menyebabkan adanya hal itu. Adapun di saat hadhar (bukan safar) dan dalam keadaan mukim, apabila penguasa secara syar’i tegak, dan bai’at telah ditegakkan, maka tidak boleh ada ketaatan yang bersifat independent pada waktu hadhar, tanpa ta’at kepada penguasanya, namun yang ada adalah kerjasama.”
Semua yang disebutkan oleh beliau pada ucapannya di atas dari hal yang tidak diperbolehkan terdapat pada Yayasan, apabila kamu memahaminya yaitu adanya amir/ketaatan yang bersifat independent pada waktu hadhar (keadaan mukim), dan ketaatan yang harus kepada pemimpin Yayasan, kalau tidak, ketua Yayasan bisa memecatnya dari jabatannya meskipun terkadang yang benar ada pada bawahan, bahkan terkadang seorang ustadz harus ikut aturan dan kemauan ketua Yayasan kalau tidak, dia bisa dipecat dan tidak mendapat tunjangan bulanan dan tidak boleh lagi ngisi/ngajar di tempat itu atau disuruh angkat kaki dari tempat itu atau selainnya.
Juga perlu diperhatikan ucapan beliau: “menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar…dst” Apakah kemungkaran dan penyimpangan yang telah lewat penyebutannya merupakan hasil dan buah ditegakkannya amar ma’ruf nahi mungkar, bimbingan dan perbaikan serta perbuatan kebaikan pada tubuh Yayasan ataukah sebaliknya?

TANGGAPAN TERHADAP FATWA SYAIKH ABU ABDIL MU’IZ MUHAMMAD FIRKUZ HADAHULLAH

Ucapannya: “Maka berkumpul dengan cara hizbi adalah tercela…[sampai ke ucapannya]…maka berkumpul dengan cara hizbi tidak diperbolehkan.”
Kami katakan: Telah lewat ucapan Asy-Syaikh Rabi’ hafidzahullah yang bermakna adanya Jum’iyyah ini merupakan sebab terpecah belahnya ummat dan menyelisihi larangan Allah agar tidak berpecah belah.
Ucapannya: “Sebagaimana termasuk pula dalam keumuman perintah untuk berta’awun yang bersifat syar’i…dst”
Kami katakan: Yang kami ingin tekankan adalah tolong menolong (ta’awun) yang disyari’atkan dan dianjurkan oleh agama yang lurus ini adalah tolong menolong di atas kebaikan dan ketakwaan sebagaimana ayat yang telah diketahui bersama, jadi apabila tolong menolong tersebut ternodai dengan suatu maksiat, atau penyimpangan syari’at seperti halnya Yayasan ini terlebih lagi dengan bid’ah atau hizbiyyah, maka itu bukanlah tolong menolong yang dianjurkan dan disyari’atkan bahkan wajib menjauhinya sebisa mungkin, dan masuk dalam keumuman larangan Allah Ta’ala yang berkata:
﴿ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ﴾ [المائدة/2].
“Dan janganlah kalian tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” [QS. Al-Maidah: 2].
Sama saja apakah ta’awun tadi bersama pemerintah atau rakyat biasa, dan telah diketahui bersama hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori di Shahih-nya pada Bab. “Mendengar dan Ta’at kepada Pemerintah Selama Bukan Maksiat” no. 6726, dan di Shahih Muslim, no. 1840 pada Bab. “Wajibnya mentaati Pemerintah pada selain Maksiat”, dari hadits Ali Rodhiyallohu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
(( إنما الطاعة في المعروف ))
“Hanyalah ketaatan itu pada hal yang ma’ruf.”
Pada lafadz lain di Muslim:
(( لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ ))
“Tiada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, hanyalah ketaatan itu pada hal yang ma’ruf.”
Demikian juga perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
((لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق))
“Tiada ketaatan bagi seorang makhlukpun dalam bermaksiat (durhaka) kepada Kholiq (Pencipta).”
Yang perlu diperhatikan pula ucapannya: “…adanya kesempatan untuk ta’awun yang dibangun di atas persaudaraan yang terikat dengan syari’at dan dibangun di atas kebaikan dan takwa…”
Adapun Jum’iyyah atau Yayasan tidaklah terikat dengan syari’at tidak pula dibangun di atas kebaikan dan takwa, sebagaimana yang telah kami paparkan di atas. pahamilah ini wahai salafiyyun
Juga perlu diketahui adalah Asy-Syaikh Firkuz hadahullah –dan al-haq diucapkan- pada dewasa ini timbul beberapa yang mengerutkan kening para salafiyyin yang murni, di mana dia mengajar di tempat ikhtilath, membolehkan pemilu, dan setelah dinasihati dari orang Al-Jazair di sini demikian juga oleh Syaikhina Yahya hafidzahumullah malah mulai melarang orang belajar di Dammaj wallahul musta’an semoga Allah memberinya taufik dan hidayah untuk kembali ke jalan yang lurus bersama orang-orang yang gigih dan tulus mengemban dakwah salafiyyah yang murni.
TANGGAPAN TERHADAP FATWA ULAMA YAMAN
Perhatikan ucapan Askari: “yang tidak dicampuri dengan noda hizbiyyah, bid’ah dan perkara haram”
Telah lewat penyebutan yang menunjukkan bahwa Yayasan itu tercampuri dengan perkara-perkara tersebut.
Demikian pula bunyi kesepakatan mereka: “jika bukan merupakan sarana menuju hizbiyyah…”
Kesepakatan ini diselisihi oleh Al-’Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i (guru mereka semua atau kebanyakan mereka) sebagaimana telah lewat penukilannya bahwasanya beliau berkata: “Dan jam’iyyah-jam’iyyah ini ya ikhwân merupakan wasîlah (perantara) dan juga kotak-kotak infaq, sungguh betul jalan menuju kepada hizbiyyah perantara kepada hizbiyyah.”, maka tiada ijma’ pada permasalahan ini dan kembalinya kepada hujjah , di mana hujjah menunjukkan bahwa Yayasan inilah sumber petaka, dan maksiat yang telah disebutkan di atas. Dan yang benar adalah Yayasan atau Jum’iyyah itu merupakan sarana menuju hizbiyyah, karena dia dibangun di atas kemaksiatan dan tidak dibangun di atas pondasi takwa dari awal harinya maka tidak heran kalau dia bisa menyeret pelakunya –kalau Allah tidak menyadarkannya dan menyelamatkannya serta menyusulnya dengan rahmatNya yang luas – kepada kemaksiatan yang lebih besar baik itu hizbiyyah atau yang lebih buruk dari itu, wal ‘iyadzubillah.
Ucapan mereka: “…Dan tidak terdapat padanya hal-hal yang menyelisihi syari’at, maka hal tersebut tidak terlarang.”
Sudah lewat bihamdillah penyebutan hal-hal yang menyelisihi syari’at yang terdapat pada Yayasan. Jadi kami dapat pahami dari ucapan mereka: “Maka hal tersebut tidak terlarang” yaitu dengan syarat sebelumnya “tidak terdapat padanya hal-hal yang menyelisihi syari’at”, kalau ternyata terdapat padanya hal-hal yang menyelisihi syari’at maka hal tersebut terlarang. Walhamdulillah.
Ucapan mereka: “Namun karena kami melihat pengaruh perselisihan yang mempengaruhi dakwah kami…dst”
Berarti mereka juga ketika itu telah merasakan dampak negatif dengan keberadaan Jum’iyyah namun karena belum nampak bagi mereka secara jelas sebagaimana yang nampak bagi guru mereka Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dan Syaikhuna sekarang ini akan kebobrokannya, merekapun mengatakan demikian yang menunjukkan sikap waro’ (kehati-hatian) mereka dalam menghukumi sesuatu hafidzohumullah dan seandainya nampak bagi mereka hal itu niscaya mereka akan mengemukakannya dengan lantang sebagaimana yang dilakukan oleh Syaikhina sekarang ini, dan pemahaman dan jangkauannya setiap ulama pada setiap masalah berbeda-beda sesuai dengan keadaan mereka dan apa yang Allah bukakan bagi mereka, terkadang sebagian mereka memiliki pengetahuan pada sesuatu secara mendalam dan terperinci yang terkadang tidak dicapai/dijangkau oleh sebagian lainnya. Oleh karena itulah ada kaidah “Barangsiapa yang tahu adalah hujjah atas siapa yang belum tahu”, “Yang menetapkan sesuatu dikedepankan daripada yang meniadakan”, demikian juga kaidah “Jarh yang terperinci dikedepankan daripada rekomendasi yang bersifat global”. Wallahul Muwaffiq.
Dapat dipahami dari ucapan mereka bahwasanya mereka itu tidak memiliki Yayasan, dan inilah yang maklum pada mereka dari dulu sampai sekarang.
Tidak lupa kami mengingatkan dengan rasa prihatin hal tiga peserta penandatangan pada kesepakatan tersebut, yaitu Abul Hasan Al-Mishri sebagaimana yang telah maklum bagi kita kehizbiyahannya , ‘Abdurrohman Al-’Adeni yang telah menyimpang dengan fitnah dunia, yang menyeretnya menjadi hizbi yang fajir, di mana pengikutnya mulai menggembar gemborkan Jum’iyyah ‘Salafiyyah’ –menurut sangkaan mereka- seperti Hani Buroik , kemudian termasuk yang terkena fitnahnya dan menjadi pembela setianya adalah Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Al-Wushobi hadahullah, semoga Allah mengembalikan mereka sebagaimana sedia kala di atas istiqomah. Sesungguhnya Allah maha kuasa dan Maha Mampu atas itu. Kalau tidak semoga Allah menghacurkan tipu muslihat dan makar para pengkianat.
Ucapan Askari: “Para ulama tidak mengharamkan Jum’iyyah atau Yayasan secara mutlak, namun dilihat kegiatan dan sepak terjangnya dalam medan dakwah, apakah dibangun di atas sunnah atau tidak.”
Jelas sekali kegiatan dan sepak terjangnya dalam dakwah tidak dibangun di atas sunnah, asalnya saja dari salafus sholeh tidak ada, dalilnya pun tidak nampak, prosedur pembuatannya dilumuri maksiat, kegiatan dan sepak terjangnya setelah pembuatannya digunakan untuk membuat proposal/meminta-minta dan mengadakan ‘rekening bank’ kalau ada yang mengingkarinya dimusuhi dikatakan lisannya kotor atau dijuluki turobiyyah atau mutasyaddid (garis keras).
TANGGAPAN TERHADAP KESIMPULAN
1. KESIMPULAN PERTAMA
Ucapannya: “…atau gerakan sirriyyah atau melakukan perkara-perkara haram, maka Jum’iyyah atau yayasan tersebut adalah haram.
Berarti kita semua sepakat bahwa yayasan ma’had ibnul qoyyim yang kamu sedang mendulang ‘berkahnya’ (baca; comberannya) dan yayasan-yayasan semacamnya hukumnya haram, karena terdapat padanya perkara-perkara yang haram, sadarlah wahai Askari lihat baik-baik apa yang sedang kamu dulang! Sebelum menyesal…
Ucapannya: “…bahkan dianjurkan.”
Subhanallah sejak kapan agama ini menganjurkan sesuatu yang muhdats, dilumuri dengan maksiat?! Kami menuntut Askari untuk mendatangkan salafnya dari tiga generasi terbaik yang menganjurkan hal itu.
2. KESIMPULAN KEDUA
Ucapanya: “…hanyalah sebagai wasilah/sarana,…(sampai ke ucapannya)…sarana memiliki hukum yang sama dengan tujuannya ”
Iya betul sarana itu memiliki hukum yang sama dengan tujuannya, selama sarana/wasilah tersebut bukan suatu hal yang haram atau menyelisihi syari’at seperti halnya Yayasan, jangan sampai kamu terjerumus ke dalam kaidah bathil orang Yahudi yang digunakan oleh para hizbiyyin dari kalangan ikhwanul muslimin dan orang-orang semacam mereka, yang kami maksud adalah kaidah:

(( الغاية تبرر الوسيلة )).

“Tujuan membolehkan segala sarana.”
Oleh karena itu kita dapati mereka sengaja melakukan suatu keharaman seperti masuk dalam parlemen dengan alasan demi kemaslahatan dakwah, memakai celana pantaloon, mencukur jenggotnya, kalau ditanya kenapa? Demi kemaslahatan dakwah, segala sarana boleh baik itu halal maupun haram selama tujuannya baik –menurut sangkaan mereka-, karena kebodohan mereka dengan hal ini atau hawa yang ada pada mereka.
Berkata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah di “Tawassul Anwa’ihi wa Ahkamihi” 1/11:
فإن الوسائل الكونية منها ما هو مباح أذن الله به، ومنها ما هو حرام نهى الله عنه، وقد ذكرت فيما سبق أمثلة من هذه الوسائل بنوعيها مما يَهم الناس فيه، ويظنونه مباحاً وموصولاً إلى القصد مع أنه بعكس ذلك، وأذكر فيما يلي بعض الأمثلة على الوسائل الكونية المشروعة وغير المشروعة.
فمن الوسائل الكونية المشروعة للكسب والحصول على الرزق اتخاذ البيع والشراء والتجارة والزراعة والإجارة، ومن الوسائل الكونية المحرمة الإقراض بالربا وبيع العينة والاحتكار والغش والسرقة، والميسر وبيع الخمور والتماثيل، ومن أدلة ذلك قوله تعالى:﴿ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ﴾ [البقرة/275]
فكل من البيع والربا سبب كوني لكسب الرزق، ولكن الله تعالى أحل الأول، وحرم الثاني.
كيف تعرف صحة الوسائل ومشروعيتها:
والطريق الصحيح لمعرفة مشروعية الوسائل الكونية والشرعية هو الرجوع إلى الكتاب والسنة، والتثبت مما ورد فيهما عنها، والنظر في دلالات نصوصهما، وليس هناك طريق آخر لذلك البتة.
فهناك شرطان لجواز استعمال سبب كوني ما، الأول أن يكون مباحاً في الشرع، والثاني أن يكون قد ثبت تحقيقه للمطلوب، أو غلب ذلك على الظن.
وأما الوسيلة الشرعية فلا يشترط فيها إلا ثبوتها في الشرع ليس غير.
“Sesungguhnya sarana-sarana yang bersifat alami di antaranya ada yang dibolehkan dan diidzinkan oleh Allah, dan ada yang haram hukumnya dan Allah melarang darinya, telah saya sebutkan beberapa contoh dari sarana–sarana yang haram ini yang kebanyakan orang salah dalam memahaminya, dia mengira hal itu mubah dan dengannya dapat mencapai maksudnya, namun kenyataannya hal itu sebaliknya (haram hukumnya), saya akan menyebutkan berikut ini beberapa sarana-sarana yang bersifat alami yang disyari’atkan dan yang tidak disyari’atkan:
Termasuk sarana-sarana yang bersifat alami yang disyari’atkan untuk mencari dan memperoleh rezki adalah dengan menggunakan sarana jual-beli, perdagangan, pertanian dan persewaan, adapun sarana-sarana yang bersifat alami yang diharamkan adalah meminjamkan uang dengan riba/bunga (lintah darat), jual-beli secara ‘ienah, menimbun barang, menipu, mencuri, berjudi, menjual minuman keras yang memabukkan, dan menjual berhala-berhala (patung), salah satu dalilnya adalah perkataan Allah Ta’ala:
﴿ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ﴾ [البقرة/275]
“Sementara Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” [QS. Al-Baqarah: 275]
Maka jual-beli dan riba adalah sebab (sarana/wasilah -pent) alami untuk memperoleh rezki, namun Allah Ta’ala menghalalkan yang pertama dan mengharamkan yang kedua.
BAGAIMANA ENGKAU MENGETAHUI BAHWA SARANA-SARANA TERSEBUT BENAR DAN SYAR’I ?
Metode yang benar untuk mengetahui syar’inya sarana-sarana yang alami ataupun sarana-sarana syar’iyyah tersebut adalah dengan merujuk kepada kitab dan sunnah dan memastikan keberadaannya pada keduanya, dan memperhatikan makna-makna dalil-dalil tersebut, tidak terdapat metode lain untuk itu sama sekali.
Jadi terdapat dua syarat untuk menggunakan suatu sarana alami, pertama sarana tersebut hukumnya mubah dalam syariat, kedua telah diketahui secara pasti bahwa tujuan itu akan tercapai dengan menggunakan sarana tersebut atau dengan dugaan yang kuat tujuan itu akan tercapai dengannya.
Adapun sarana-sarana syar’iyyah maka tidak ada syaratnya melainkan sarana tersebut harus terdapat pada syari’at, tidak lain dari itu.-selesai-
Maka kami tanya Askari, sebenarnya menurut kamu Yayasan itu sarana alami atau sarana syar’i?
Kalau kamu menjawab sarana alami, maka kamu telah melanggar syarat pertama, karena yayasan bukanlah perkara mubah, sebab paling tidak pada Yayasan terdapat hal-hal yang haram sebagaimana yang telah lewat, bahkan yang rajih (benar) dia adalah perkara muhdats, haram mendirikannya.
Kalau kamu menjawab sarana syar’i, maka lebih parah lagi, karena Yayasan tidak ada dalilnya sama sekali bahkan menyelisihi syari’at dan nash-nash kitab dan sunnah.
Ataukah mungkin masih ada pembagian sarana lain di sisi Askari yang belum disebutkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah pada ucapannnya ini.
Faidah: Berkata Asy-Syaikh Sholeh Al-Fauzan hafidzahullah dalam menyebutkan sebab dibuatnya patung-patung orang sholeh yang akhirnya diibadahi oleh kaum Nabi Nuh ‘Alaihis Sholatu was Salam, beliau berkata:
فلما ماتوا – ويُروى: أنهم ماتوا في سنة واحدة- حزنوا عليهم حزناً شديداً، وبكوا عليهم، فاستغل الشيطان- لعنه الله- هذه العاطفة فيهم، وأشار عليهم بمشورة ظاهرها النصح، وباطنها الخديعة والمكر، أشار عليهم بأن يصوّروا تماثيلهم، يعني: يجعلوا لهم صوراً على شكل تماثيل، كل واحد له صورة، وأن ينصبوا هذه التماثيل على مجالسهم؛ من أجل أن ينشطوا على العبادة، إذا رأوهم تذكّروا حالتهم فنشطوا على العبادة، فهو جاءهم من باب النصح، وأشار عليهم بمشورة ظاهرها الخبر، وأن هذه وسيلة للنشاط على العبادة، والتقوى، والصلاح، والإقتداء بهؤلاء، إذا رأوا صورهم تذكّروا صلاحهم وحالتهم فاقتدوا بهم، هذا ظاهر نصيحته، ولكنه في الباطن يمكر بهم، لأنه يرمي إلى مرمى بعيد- لعنه الله-، ينظر إلى العواقب، إلى الأجيال القادمة، يؤسس هذا الأساس للأجيال القادمة، وإلاَّ فإنه يعرف أن هؤلاء- ما دام العلم موجوداً، وما دام أنهم على التّوحيد- لن يتركوا عبادة الله عزّ وجلّ، فقبلوا هذه المشورة لأن ظاهرها أنها خير، وابتدعوا هذه البدعة.
وهذا دليل على أن البدع لا تجوز وإن كان ظاهرها الخير، وإن كانت نيّة أصحابها الخير.
“Tatkala mereka (orang-orang sholeh di zaman itu) meninggal –dan diriwayatkan: bahwasanya mereka meninggal pada tahun yang sama- yang membuat mereka sangat bersedih hati, dan menangisi mereka, lalu Syaithan –baginya laknat Allah- menggunakan perasaan mereka ini untuk mengajukan sarannya kepada mereka dengan suatu saran yang lahiriyyahnya bagaikan nasihat, namun batiniyahnya mengandung tipuan dan makar, ia menyarankan mereka agar memahat patung mereka, yaitu: agar mereka menjadikan patung-patung dengan rupa mereka, setiap orang sholeh itu dibuat patungnya, dan agar patung-patung ini diletakkan di tempat duduk-duduk mereka, supaya mereka bisa semangat dalam beribadah, apabila mereka melihat patung mereka, merekapun akan mengingat keadaan orang-orang sholeh tersebut dulunya (dari ibadah dan kebaikan) yang akan mendorong mereka untuk bersemangat dalam beribadah, jadi syaithan mendatangi mereka dari pintu nasihat, dan memberi mereka saran yang kelihatannya kebaikan, bahwa ini adalah sarana/wasilah untuk bersemangat dalam beribadah, sarana yang mendorong kepada ketakwaan, kebaikan, dan sarana untuk menjadikan mereka sebagai panutan, manakala mereka melihat rupa/patung mereka, merekapun mengingat kembali kebaikan dan keadaan mereka dulunya yang akan mendorong mereka untuk meneladani orang-orang sholeh tersebut, saran ini kelihatannya suatu nasihat, namun pada hakikatnya dia berlaku makar terhadap mereka, ia –semoga Allah melaknatnya- melempar sasaran yang jauh (rencana jahat jauh hari sebelumnya), dia melihat kepada akibat setelahnya pada generasi selanjutnya, dia mempersiapkan ini untuk menyesatkan generasi berikutnya, karena dia tahu bahwa orang-orang yang ia sarankan itu –selama ilmu masih ada, dan selama mereka di atas tauhid- tidak akan meninggalkan peribadatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka merekapun menerima sarannya ini karena zahirnya kebaikan, merekapun mengadakan bid’ah ini.
Dan ini adalah dalil bahwasanya bid’ah itu tidak boleh walaupun nampaknya baik, meskipun niat para pelakunya baik-selesai- ["I'anatul Mustafid" 1/265-266].
3. KESIMPULAN KETIGA
Masalah ta’awun telah kami bahas pada tanggapan terhadap fatwa Asy-Syaikh Muhammad Firkuz hadahullah. Dan sebelumnya telah dibahas di artikel Al-Akh Abul Husain hafidzahullah yang bejudul “Al-Jam’iyyah Harokah bila Barokah” kemudian diterjemah dengan tema “Yayasan Sarana Dakwah Tanpa Barokah”.
4. KESIMPULAN KEEMPAT
Telah lewat pembahasannya, untuk yang lebih lengkap silahkan merujuk ke artikel kami yang bertema “Mengingatkan Ahlus Sunnah…” di mana kesimpulannya bahwa ijma’/kesepakatan itu harus bersandarkan dengan kitab dan sunnah, dan suatu ijma’/ketetapan ulama apabila diselisihi oleh seorang ulama saja apalagi ulama tersebut terpandang dari sisi ilmu dan fiqih akan meruntuhkan ijma’/ketetapan tersebut dan kembalinya kepada hujjah dan burhan (bukti), walillahil hamd.
5. KESIMPULAN KELIMA
Telah lewat bahwa berdakwah di Indonesia itu bisa dan telah dilakukan oleh beberapa du’at, maka atas dasar apa hingga kita butuh membuat Yayasan? Bukankah cukup kita duduk bermajlis dan mengajar di masjid atau tempat-tempat yang layak diberlangsungkan padanya proses belajar-mengajar seperti rumah atau selainnya sebagaimana hal para salaf terdahulu? Kemudian jika ada orang atau beberapa orang yang datang hendak belajar di hadapan da’i tersebut lalu tinggal di situ, siapakah yang melarang selama dia tidak mengadakan kerusakan dan keonaran di tempat tersebut, metode inilah yang ditempuh oleh Al-’Allamah Muqbil bin Hadi rahimahullah dalam berdakwah di Negri Yaman, dan perlu diketahui bahwa Negara Yaman juga republik sebagaimana halnya negri kita Indonesia.
Ucapannya: “Tidak membuat Yayasan berarti akan menelantarkan sekian banyak kemaslahatan dalam penyebaran dakwah…”
Justru dengan membuat Yayasan akan menelantarkan dan menghilangkan banyak kemaslahatan bahkan mendatangkan mafsadat pada agama dan dakwah, karena maksiat adalah sebab turunnya adzab dan hilangnya barokah dalam dakwah kepada Allah Ta’ala, dan maklum bagi kita semua, kaidah:
درء المفسدة, أولى من جلب المصلحة
“Menolak mafsadat (kerusakan), lebih utama daripada mendatangkan maslahat.”
Salah satu dalilnya adalah perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
(( دعوني ما تركتكم إنما أهلك من كان قبلكم سؤالهم واختلافهم على أنبيائهم فإذا نهيتكم عن شيء فاجتنبوه وإذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم ))
“Biarkanlah saya dan janganlah kalian mananyaiku, hanyalah yang membinasakan ummat-ummat sebelum kalian adalah (banyak) tanya dan berselisihnya mereka terhadap Nabi-Nabi mereka, maka apabila saya telah melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah hal itu, dan apabila saya menyuruh kalian dengan sesuatu maka datangilah sesuai kemampuan kalian.” (HR. Bukhori dan Muslim dari hadits Abi Hurairah Rodhiyallohu ‘anhu)
Adapun ucapannya: “dan bahkan menimbulkan kemudharatan yang besar,… (sampai ke ucapannya)…sehingga terpaksa menyekolahkan anak-anaknya di tempat-tempat ikhtilath…dst.”
Wahai Askari, kebanyakan kita pernah sekolah dan keluar darinya dan tidak ada di antara kita yang diharuskan oleh Negara untuk tetap sekolah atau kembali sekolah di tempat maksiat tersebut.
Dan berapa banyak anak-anak kecil yang tidak sekolah baik itu dari anak-anak ikhwah atau selain mereka, tidak ada di antara mereka yang dipaksa oleh pemerintah untuk memasukkan anaknya ke sekolah ikhtilath tersebut.
PENUTUP
Setelah adanya penjelasan ini, kami harap dapat meminimalisir dan menghilangkan adanya ucapan kotor yang berbunyi “Mendulang Berkah Dengan Membuat Yayasan Salafiyyah”, sekaligus meminimalisir dosa yang akan dipikul oleh Askari disebabkan tergelincirnya dan bergelimangnya sebagian orang dalam perkara yang muhdats dan dilumuri maksiat karena membaca buku ‘sesat’ yang dia tulis ini. Allah Ta’ala berkata:
﴿ لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ ﴾ [النحل/25].
“Supaya mereka memikul dosa-dosa mereka dengan sempurna pada hari kiamat, dan dari dosa-dosa orang yang mereka sesatkan tanpa ilmu. Ketahuilah, Amat buruklah dosa yang mereka perbuat itu.” [QS.An-Nahl: 25].
Hendaknya kita senantiasa merasa takut dan diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena kepadaNya-lah kita kan kembali dan mempertanggung jawabkan apa-apa yang telah kita perbuat di dunia, Allahul Musta’an.
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلاّ أنت أستغفرك وأتوب إليك

Artikel Terkait


0 comments:

Post a Comment

◄ Newer Post Older Post ►

Al Manshurah

 

Copyright 2011 Al Manshurah is proudly powered by blogger.com | Design by Tutorial Blogspot Published by Template Blogger