Sebelum masuk ke permasalahan, ada kaidah fiqih penting yang perlu dipahami karena berkaitan dengan pembahasan, yaitu:
(اليَقِيْنُ لَا يَزُوْلُ بِالشَّكِّ)[1]
Artinya: Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.
Makna kaidah: Perkara yang meyakinkan tidak bisa diangkat hukumnya kecuali dengan bukti nyata bukan semata-mata keraguan. Sehingga apabila muncul keraguan pada suatu perkara maka hukumnya dikembalikan kepada hukum yang diyakini pada perkara tersebut sebelum keraguan itu muncul.[2]
Dalil kaidah (diantaranya): ‘Abdulloh bin Zaid Rodhiyallohu ‘Anhu mengisahkan tentang seorang lelaki yang datang kepada Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam mengadukan bahwa ketika sholat dia menduga dirinya telah berhadats, maka Rosululloh bersabda:
«لاَ يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا»
“Jangan kamu tinggalkan sholat sampai kamu mendengar suara atau mendapatkan bau” (HR Bukhory-Muslim)
Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda:
«إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِى بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَىْءٌ أَمْ لاَ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا»
“Apabila salah seorang diantara kalian mendapatkan ‘sesuatu’ di perutnya, sehingga samar baginya apakah ada yang keluar dari (perut)nya atau tidak. Maka janganlah dia keluar dari masjid (yakni memutus sholat-pen) sampai mendengar suara atau mendapatkan bau” (HR Bukhory dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)
Sisi Pendalilan: Pada hadits-hadits di atas, hukum asal masuknya seseorang ke dalam sholat adalah dalam keadaan berwudhu’. Maka wudhu’nya tidak bisa dihukumi batal sampai dia benar-benar yakin kalau dia telah berhadats.
CATATAN PENTING:
Kaidah ini diterapkan jika orang tersebut tidak memiliki “Dugaan kuat” dalam perkara yang diragukannya itu. Apabila dia memiliki dugaan kuat terhadap salah satu kemungkinan, maka dia beramal dengan dugaan kuatnya itu. Karena syari’at membolehkan beramal dengan “Dugaan kuat” ketika tidak bisa beramal dengan sesuatu yang yakin.
Kaidah ini diterapkan jika orang tersebut tidak memiliki “Dugaan kuat” dalam perkara yang diragukannya itu. Apabila dia memiliki dugaan kuat terhadap salah satu kemungkinan, maka dia beramal dengan dugaan kuatnya itu. Karena syari’at membolehkan beramal dengan “Dugaan kuat” ketika tidak bisa beramal dengan sesuatu yang yakin.
Diantara dalilnya:
وَإِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ فَلْيُتِمَّ عَلَيْهِ
“Apabila salah seorang kalian ragu dalam sholatnya maka carilah mana yang benar, kemudian sempurnakanlah sholat di atas (pilihannya) itu.” (HR Bukhory-Muslim dari Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘Anhu)
Sisi pendalilan: Rosululloh memerintahkan untuk mencari mana yang lebih benar (tentunya dengan melihat indikasi-indikasi) dalam keadaan munculnya keraguan, dan ibadah tetap diteruskan.
PENGARUH KERAGUAN DALAM IBADAH
Sebagai gambaran singkat, ada tiga kondisi munculnya keragu-raguan. Keraguan menjelang melakukan ibadah, di pertengahan ibadah atau setelah ibadah. Kita ambil masalah wudhu’ sebagai contoh karena banyak orang tertimpa was-was dalam masalah ini.
Sebagai gambaran singkat, ada tiga kondisi munculnya keragu-raguan. Keraguan menjelang melakukan ibadah, di pertengahan ibadah atau setelah ibadah. Kita ambil masalah wudhu’ sebagai contoh karena banyak orang tertimpa was-was dalam masalah ini.
Menjelang wudhu’. Seseorang mendatangi masjid dan melewati tempat wudhu’ ketika imam sudah di rakaat terakhir. Dia ragu apakah dia telah wudhu’ atau belum ?
Dijawab dengan kaidah. Kembalikanlah kepada hal yang diyakini sebelum munculnya keraguan ini. Apakah sebelum datang ke masjid, dia sempat melakukan sholat dua rakaat di rumahnya atau tidak ? Jika jawabnya “Ya”, maka hukum asal sebelum munculnya keraguan: “Dia telah berwudhu’” karena dia telah sholat dua raka’at di rumah yang tentunya dalam keadaan berwudhu’. Maka dia langsung ikut bersama imam tanpa wudhu’ dan jangan pedulikan keraguan yang sempat muncul[3]. Jika jawabnya “Tidak”, maka tidak ada baginya indikasi yang menunjukkan bahwa dia telah berwudhu’. Oleh sebab itu hukum asal sebelum muncul keraguan: “Dia dalam keadaan berhadats’”, maka wajib baginya untuk berwudhu’[4] walaupun dia bakal ketinggalan jama’ah bersama imam. Karena bagi orang yang ragu apakah dia telah melakukan sesuatu atau tidak, hukum asalnya: “Dia belum melakukannya”[5].
Di pertengahan wudhu’. Seseorang ragu apakah dia buang angin atau tidak ?
Dijawab dengan kaidah, kalau dia tidak yakin telah buang angin maka teruskan wudhu’nya karena sebagian wudhu’ yang dilakukannya telah mengikuti cara yang syar’i sebagaimana kisah shohabat yang ragu dalam sholatnya.
Setelah wudhu’. Seseorang ragu apakah ketika wudhu’ dia berhadats atau tidak ?
Dijawab dengan kaidah, karena dia telah melakukan wudhu’ yang syar’i maka hukum asalnya: “Dia selesai wudhu’ dalam keadaan suci”.
Keraguan yang semacam ini kalau dibiarkan, maka akan membuka pintu was-was yang tiada hentinya[6]. Karena setiap selesai wudhu’ maka dia akan mengulang lagi, selesai mengulang maka dia mengulang lagi, dan ini merupakan sesuatu kesulitan dalam menjalankan syari’at. Alloh Suhbanahu wa Ta’ala berfirman:
﴿وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ﴾
“Dia tidak menjadikan kesukaran dalam agama bagi kalian” (QS Al-Hajj Ayat 87)
PERBANDINGAN ANTARA PENGAMALAN “DUGAAN KUAT” DENGAN PENGAMALAN HUKUM YANG DIYAKINI SEBELUM MUNCUL KERAGUAN
Seseorang melakukan sholat ‘Ashar kemudian ragu apakah dia telah sholat dua rakaat atau tiga?
Kalau dugaannya kuat bahwa dia telah sholat dua rakaat, maka dia lanjutkan sholatnya di atas dugaan itu dan dia sempurnakan dua rakaat sisanya. Demikian juga kalau dugaannya kuat dia telah sholat tiga rakaat, maka dia cukup menyempurnakan satu rakaat sisa, kemudian sujud sahwi.[7]
Adapun kalau dia tidak memiliki dugaan kuat kepada salah satu kemungkinan, maka dia harus kembali pada perkara yang betul-betul diyakini, yaitu: Bagaimanapun kemungkinannya yang jelas dia telah sholat dua rakaat. Maka dia bangun sholatnya di atas keyakinan itu dan dia sempurnakan dua rakaat sisa, kemudian sujud sahwi.
SEPUTAR WAS-WAS
Was-was merupakan sebuah keraguan yang tidak terbangun di atas suatu dasar yang jelas akan tetapi muncul di atas khayalan atau sekedar rasa bimbang. Was-was biasanya muncul pada orang yang sering mengalami keragu-raguan. Was-was tidak ada obatnya kecuali berpaling darinya dan tidak memperdulikannya.[8]
Was-was merupakan sebuah keraguan yang tidak terbangun di atas suatu dasar yang jelas akan tetapi muncul di atas khayalan atau sekedar rasa bimbang. Was-was biasanya muncul pada orang yang sering mengalami keragu-raguan. Was-was tidak ada obatnya kecuali berpaling darinya dan tidak memperdulikannya.[8]
Penyebab utama was-was adalah gangguan dan bisikan syaithon. ‘Utsman bin Abil ‘Ash Rodhiyallohu ‘Anhu datang mengadu kepada Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwa syaithon mengganggu bacaannya ketika sholat sehingga dia menjadi ragu. Maka Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
« ذَاكَ شَيْطَانٌ يُقَالُ لَهُ خِنْزِبٌ فَإِذَا أَحْسَسْتَهُ فَتَعَوَّذْ بِاللهِ مِنْهُ وَاتْفِلْ عَلَى يَسَارِكَ ثَلاَثًا »
“Itu adalah syaithon yang dinamakan Khinzib[9]. Apabila engkau merasakannya maka berlindunglah kepada Alloh (ta’awwudz) darinya dan tiuplah[10] ke sebelah kirimu sebanyak tiga kali” (HR Muslim). Maka ‘Utsman pun mengerjakannya dan hilanglah gangguan itu darinya.
Pintu masuknya syaithon terbesar adalah kebodohan seseorang tentang ilmu agamanya adapun pada orang yang berilmu dia hanya bisa “mencuri”. Hal itu dikarenakan dia bisa menyusupkan perancuannya kepada orang-orang bodoh dengan aman tanpa penentangan. Karena itulah was-was ini banyak terlihat pada orang-orang yang semangat beribadah tapi ilmu kurang.[11]
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan[12]: “Diantara tipu dayanya yang berhasil memperdaya orang-orang bodoh adalah tipu dayanya dalam perkara thoharoh dan sholat ketika berniat, sampai dia bisa menjerumuskan mereka ke dalam ikatan-ikatan dan belenggu, serta meninggalkan pengikutan terhadap sunnah Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam. Dikhayalkan kepada salah seorang diantara mereka bahwa apa-apa yang datang dari sunnah tidak cukup, mesti ditambah dengan yang lain, sehingga terkumpul pada mereka rasa capek disertai batal atau berkurangnya pahala”.
MELEPASKAN DIRI DARI WAS-WAS
Mungkin kebanyakan orang yang terkena was-was sudah mengetahui tidak ada cara lain baginya untuk lepas dari jerat tersebut kecuali dengan tidak memperdulikan was-was tersebut sama sekali, namun terkadang sulit dalam penerapannya. Nah, dari penjelasan sebelumnya, setidaknya ada beberapa perkara penting yang bisa menjadi sebab bagi seseorang untuk menerapkan hal tersebut:
Pertama, Menuntut ilmu syar’i, sehingga jelas baginya hukum-hukum syari’at yang benar. Karena Alloh hanya memerintahkan hamba-Nya untuk berjalan di atas apa yang Dia syari’atkan, tidak dipulangkan kepada perasaan atau dugaan.
Kedua, Bersandar sepenuhnya kepada Alloh, meminta pertolongan kepada-Nya, serta meminta perlindungan kepada-Nya dari bisikan syaithon dan terus beribadah di atas ilmu.[13]
Tambahkan perkara yang berikutnya:
Ketiga, Menutup celah munculnya was-was.
Misalnya bagi seseorang yang was-was dalam sholatnya merasa bahwa kemaluan basah, perkara yang dia lakukan adalah apabila dia selesai berwudhu’ maka dia perciki kemaluannya, sehingga jika datang rasa was-was di sholat maka dia akan menganggap bahwa basah yang terasa berasal dari air yang dipercikkan. [14]
Karena itu juga dinasehatkan bagi orang-orang yang terkena penyakit yang menyebabkan keluarnya kencing atau buang angin sering tanpa bisa ditahan, untuk berupaya mencari pengobatannya, menutup pintu was-was. Adapun hukumnya, diantara ulama[15] memfatwakan kalau dia cukup berwudhu’ setiap kali sholat. Walaupun antara waktu wudhu’ sampai selesai sholat dia mengeluarkan hadats sebab sakit yang dideritanya.
Ini adalah fatwa yang kuat insya Alloh karena dia dalam kondisi yang diluar batas kemampuannya. Alloh Ta’ala berfirman:
﴿لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا﴾
“Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya (QS Al-Baqoroh Ayat 233)
﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُم﴾
“Bertakwalah kepada Alloh semampu kalian” (QS At-Taghobun Ayat 16)
Inilah yang ana pahami dalam masalah ini Wallohu A’lam bish Showaab.
[1] Al-Qirofy menukilkan ijma’ ulama atas kaidah ini (Al-Furuq, perbedaan yang ke 10). Para ulama diantaranya: Ibnu ‘Abdil Barr (At-Tamhid 1/342), Ibnu Daqiqil ‘Ied (Al-Ihkam 1/250), An-Nawawy (Syarh Shohih Muslim hadits ke 361), Al-’Ala’iy (Al-Majmu’ul Madzhab 1/304), dan selain mereka menggolongkan kaidah ini ke dalam “Kaidah Besar” dimana banyak permasalan-permasalahan fiqih yang bisa dikembalikan ke kaidah ini atau langsung ke dalil-dalil kaidah ini (Lihat Ad-Durorul Bahiyah 140-141/ Syaikh ‘Abdulloh Khaulany). Setidaknya kaidah ini mencakup sekitar dua belas kaidah yang lain (Lihat Al-Mufashshol 285-322/ DR Ya’qub Bahusein).
[2] Akan diperjelas dengan contoh Insya Alloh.
[3] Pendapat ini yang dikuatkan jumhur (mayoritas) ulama. Adapun yang berpendapat (dari kalangan Malikiyyah) orang tersebut harus berwudhu’ bukan karena mereka menolak kaidah ini tapi karena mereka berpendapat bahwa sholat harus dibangun di atas wudhu’ yang betul-betul diyakini. Namun konteks hadits menunjukkan pendapat jumhurlah yang lebih kuat (lihat Al-Majmu’ul Madzhab 1/315)
[4] Ijma’ (sepakat) ulama dalam masalah ini, sebagaimana dinukilkan Ibnu Hazm (Marotibul Ijma’ 44) dan Imam An-Nawawy (Syarh Shohih Muslim no 361) Rahimahumalloh
[5] Lihat Al-Asybah Wan Nazho’ir (1/97)/ Asy-Syuyuthi Rahimahulloh
[6] Lihat Syarh Manzhumah Ushulil Fiqh wa Qowa’idih (171-172)/ Syaikh Al-’Utsaimin Rahimahulloh
[7] Khusus karena keraguan dalam sholat adapun dalam ibadah yang lain sujud sahwi tidak disyari’atkan
[8] Lihat Syarh Manzhumah Ushulil Fiqh wa Qowa’idih (173)/ Syaikh Al-’Utsaimin Rahimahulloh
[9] Diriwayatkan juga: Khinzab, Khanzab dan Khunzab (Imam An-Nawawy/ Syarh Shohih Muslim)
[10] Disertai sedikit percikan ludah
[11] Lihat Talbis iblis (1/121)/ Ibnul Jauzi Rahimahulloh
[12] Ighotsatul Lahfan (1/127)
[13] Lihat Syarh Manzhumah Ushulil Fiqh wa Qowa’idih (174)/ Syaikh Al-’Utsaimin Rahimahulloh
[14] Demikian fatwa Syaikhuna Yahya Al-Hajury Hafizhohulloh dalam masalah ini. Adapun atsar salaf sejauh ini ana baru mendapatkan satu atsar dari shohabat dan dua dari tabi’i dengan fatwa yang persis.
Atsar dari shohabat adalah atsar Ibnu ‘Abbas diriwayatkan ‘Abdur Rozzaq di Mushonnafnya no 574 lewat riwayat Al-A’Masy dari Sa’id bin Jubair. Seluruh periwayat tsiqoh, akan tetapi terdapat ‘an’anah Al-A’masy (mudallis level ketiga karena banyak melakukan tadlis para perowi dho’if). Dan ana tidak mendapatkan penjelasan dari ulama bahwa Al-A’Masy banyak mengambil riwayat dari Sa’id bin Jubair sehingga ana tawaqquf dalam menerima atsar ini. Dan konsekwensi dari tawaqquf adalah menolak.
Adapun atsar dari tabi’i, yang pertama adalah atsar Muhammad bin Ka’ab Al-Qurozhy diriwayatkan ‘Abdur Rozzaq di Mushonnafnya no 585 dan sanadnya shohih. Sementara yang kedua adalah atsar Maimun bin Mihron diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah di Mushonnafnya no 1790 dan sanadnya hasan. Wallohu A’lam
Atsar dari shohabat adalah atsar Ibnu ‘Abbas diriwayatkan ‘Abdur Rozzaq di Mushonnafnya no 574 lewat riwayat Al-A’Masy dari Sa’id bin Jubair. Seluruh periwayat tsiqoh, akan tetapi terdapat ‘an’anah Al-A’masy (mudallis level ketiga karena banyak melakukan tadlis para perowi dho’if). Dan ana tidak mendapatkan penjelasan dari ulama bahwa Al-A’Masy banyak mengambil riwayat dari Sa’id bin Jubair sehingga ana tawaqquf dalam menerima atsar ini. Dan konsekwensi dari tawaqquf adalah menolak.
Adapun atsar dari tabi’i, yang pertama adalah atsar Muhammad bin Ka’ab Al-Qurozhy diriwayatkan ‘Abdur Rozzaq di Mushonnafnya no 585 dan sanadnya shohih. Sementara yang kedua adalah atsar Maimun bin Mihron diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah di Mushonnafnya no 1790 dan sanadnya hasan. Wallohu A’lam
[15] Diantaranya Syaikh Ibnu Bazz, Syaikh Al-’Utsaimin Rahimahumalloh dan Syaikhuna Muhammad Hizam Hafizhohulloh
sumber: http://www.ahlussunnah.web.id
sumber: http://www.ahlussunnah.web.id
0 comments:
Post a Comment